Sunday, May 13, 2007

Pengawal Pasukan Ramang


Syamsul…Syamsul…

Syamsul yang garang …

Syamsul yang garang di Mattoanging...

Kutipan di atas adalah satu dari banyak lagu The Macz Man, klub supporter Persatuan Sepakbola Makassar (PSM). Iramanya menyerupai lagu ‘Mari Berkebun’: cangkul/cangku/cangkul yang dalam/menanam jagung di kebun kita, yang dulu tenar di kalangan kanak-kanak. Diiringi dengan tabuhan drum, tiupan terompet dan dinyanyikan serentak, lagu ini biasa mengiringi Syamsul Bachri Haeruddin, pemain tengah PSM, saat menggiring bola. Lain lagi lagunya ketika ada pemain dari tim lawan PSM, yang dulunya bermain di salah satu klub sepakbola tertua di Indonesia ini. Iramanya seperti lagu Pramuka: Buat apa Yoseph, Buat apa Yoseph, Yoseph itu tak ada gunanya. Sebelumnya Yoseph Lewono, adalah pemain kebanggaan suporter tersebut. Laiknya gemuruh, nyanyian-nyanyian suporter begitu menyemangati para pemain.

The Macz Man adalah satu dari banyak klub suporter yang ada di Makassar. Kelompok yang menghimpun tidak kurang dari 5000-an orang suporter ini, boleh dibilang lebih terorganisir jika dibanding klub suporter lain yang ada di Makassar. Setiap bulannya dipungut iuran sebesar Rp1.000 setiap anggota. Dana yang terkumpul akan dipakai untuk keperluan-keperluan kegiatan The Macz Man dan untuk membantu anggota yang mengalami musibah.

Klub ini rutin mengikuti tur bertandingnya PSM. Biasanya yang ikut sekitar 60-an orang. The Macz ini sendiri didirikan oleh Alim ‘Ocha’ Bahri bersama dua rekannya: Iriyanto Syah Kasim (Pengurus Daerah PSSI Makassar) dan Ir Amrullah Pase (Direktur PT IKI). Sementara ini Perdana Menteri The Macz Man, sebutan bagi ketua, dipegang oleh Ocha, yang juga seorang fotografer olahraga sebuah harian di Makassar.

Model pengorganisasian klub suporter ini mencontoh sistem pemerintahan sebuah negara, jelas Ocha. The Macz Man memiliki duta-duta besar yang tersebar di luar Makassar. Ada zona Jadebotabek yang mengoordinir suporter PSM yang ada di sekitar daerah tersebut. Ada pula zona Jawa Tengah, zona Jawa Timur, zona Kalimantan, dan zona Bali. Jika terjadi kerusuhan di Stadion Mattoanging, The Macz Man memiliki Barikade The Army, yang berusaha mengamankan atau mencegah terjadinya kekacauan yang disebabkan oleh suporter.

Suporter Makassar itu punya banyak karakter dalam mendukung tim kesayangannya, kata Ocha. Ada yang menyanjung-nyanjung, ada pula yang meneror pemain yang mainnya jelek. Baik itu dengan cara mengolok-olok pemain atau melempar dengan botol minuman mineral. Semuanya itu punya maksud baik: ingin PSM menang. Dan suporter tim yang kerap juga disebut Pasukan Ramang itu mau mengakui kemenangan tim lawan jika mainnya lebih bagus dari PSM. Sebaliknya, PSM disalahkan kalau mainnya buruk.

Fanatisme suporter tentu saja sangat disukai oleh para pemain. Ronald Fagundez, misalnya. Pemain asing dari Uruguay ini, merasa senang ketika bermain didukung penuh oleh suporter.

Jais Lestaluhu, pemain muda PSM asal Ambon, merasa suporter PSM sangat antusias mendukung tim yang berjuluk Juku Eja itu. Menurut Jaiz sedang latihan saja suporter sudah berjejal menyemangatinya, apalagi kalau sedang bermain di Mattoanging. Ponaryo Astaman, kapten PSM yang juga kapten tim nasional, merasa bangga pula jika dielu-elukan supporter, hanya saja perlu cara yang lebih kreatif lagi, seperti klub suporter yang ada di luar Sulawesi.

Berkonvoi keliling Makassar berkendara sepeda motor atau pete-pete sewaan, dilengkapi dengan pakaian yang serba merah, mereka menjelma jadi serigala di atas roda. Memacetkan lalu-lintas tentunya. Hal itu biasa dilakukan ketika berombongan hendak ke Mattoanging. Ada pula yang begitu heroik ketika melintas berparade. Seperti seorang panglima, yang dikawal oleh para ajudannya, Udin ‘Golgo’ begitu gagah berdiri di atas jip merah bututnya. Pria berkumis tebal ini, adalah salah satu Koordinator Ikatan Suporter Makassar dari jalan Cakalang, yang sering memakai baret dan seragam kebanggaannya ketika PSM bertanding. Iring-iringan pawai yang mengantarnya disertai sirene panjang dan gas sepeda motor yang meraung-raung. Ketika lewat di perempatan jalan, ia lancar saja melintas meski saat itu traffic light sedang berwarna merah. Sebelum mobilnya lewat, telah ada aba-aba untuk memberi jalan ‘Sang Panglima’ menuju Mattoanging.

Begitu cintanya pada tim kesayangan, ada saja yang dilakukan seorang suporter untuk mewujudkan kegemilangan PSM. Ruud J Vool, pria keturunan Makassar yang berkebangsaan Belanda, mau menyumbangkan duitnya demi mendatangkan pemain kelas dunia seperti Jari Litmanen, dari Belanda. Hanya saja rencananya batal karena pemain itu telah lebih dulu dipinang oleh kesebelasan dari Jerman. Ia juga pernah memasang spanduk dukungan ke PSM, di kandang Ajax Amsterdam.

Seperti halnya Ruud, Rappung, warga Jakarta Utara asal Makassar ini sangat setia mengikuti PSM ketika bertandang ke pulau Jawa. Hanya di Stadion Gelora 10 Nopember, kandang tim Persebaya Surabaya, ia segan. Ia takut pada Bonek (Bondo Nekat), sebutan suporter Persebaya. Bisa bahaya katanya, kalau berurusan dengan Bonek. Ia tak punya alasan lain kenapa harus susah-susah menonton PSM bermain, selain rasa cintanya pada tim Juku Eja, sampai-sampai ia biasa tertidur di kursi lobi hotel, tempat pemain PSM menginap. Pria bertubuh tambun ini juga biasa membantu mengangkat barang-barang PSM, ke stadion atau ke bandara.

Ada pula yang edan mendukung timnya, seperti Rano. Banyak orang menganggapnya kurang waras. Tapi banyak pula yang percaya kalau kelakuannya di lapangan, sebelum tim bertanding, membawa ‘berkah’ bagi PSM. Sebelum pemain masuk ke lapangan, ia berlari mengitari lapangan. Selepas itu, ia melakukan “salat” di tengah lapangan. setelah bersujud di lapangan rumput, ia tengadahkan tangannya, kemudian ia berlari lagi melanjutkan ritualnya ke tiang gawang tim lawan. Ada yang lucu: ia pernah mengencingi gawang Persija, saat bertandang ke Mattoanging. Tak ada satu pun yang menegurnya atau menahan kelakuan buruknya itu, termasuk Ilham Arief Sirajuddin, Walikota Makassar sekaligus Manajer PSM. Peter Withe, pelatih tim nasional PSSI, hanya geleng-geleng kepala melihat laku-gila Rano.

Hairul tak kalah semangatnya dengan yang lain. Pemuda yang masih berusia belasan ini mengumpulkan upahnya dari menjual ayam potong di Pasar Cidu, untuk bisa ke Senayan, menyaksikan tim kesayangannya. Dengan hanya modal baju merah, ia naik ke kapal dengan memanjat dan berebut tempat dengan suporter lainnya. Ia tak pernah memikirkan kesulitan yang akan dihadapinya nanti di Jakarta. Katanya: “Kapan lagi kita ke Jakarta, apalagi tidak dibayar ji” Ia sudah dua kali ikut ke Senayan, berharap PSM juara.

Selain memberi dukungan di lapangan, para suporter tak kalah kreatif dalam mendukung tim kebanggaannya bahkan lewat rubrik SMS yang tersedia di harian-harian yang ada di Makassar. Misalnya saja, dari nomor 085242123XXX: Wahai para suporter janganlah selalu menghina penonton yang manjat. Itulah tanda cinta kami pada PSM walaupun dipukul rotan. Dindonk DKK Cendrawasih.[Diambil dari rubrik SMS PSM Mania, harian Tribun Timur edisi Rabu, 16 Februari 2005.]

Mengiringi perjalanan sebuah tim, ada suka maupun dukanya. Sukanya: PSM juara. Dukanya: PSM kalah. Seorang Nurdin Tekilo misalnya, suporter PSM yang begitu fanatik ini punya pengalaman seru ketika mengikuti lawatan PSM di Gresik, Jawa Timur. Pada waktu itu masih putaran kedua Liga Indonesia. Ketika itu skor PSM imbang melawan Petro Kimia, 1-1. Seusai pertandingan, pendukung Petro Kimia tiba-tiba mengamuk dan mengepung pemain-pemain PSM dan para pengikutnya. Taburan batu dari para suporter rusuh itu, cukup menciutkan nyali Nurdin.

Rombongan ini pun akhirnya selamat, ketika mereka diangkut dengan panser dan dioper ke ke kendaraan lain di jalan tol. Barulah ia dan lainnya merasa betul-betul aman ketika sampai di rumah HM Alwi Hamu, seorang pengusaha dari Sulawesi Selatan. Ocha juga pernah mengalami kejadian buruk saat ikut rombongan PSM bertandang di kandang Persema, Malang. Ia menderita luka-luka, akibat dipukuli beberapa suporter Persema, saat kerusuhan supporter terjadi. Karena merasa sebagai anak Makassar, ia tak rela harga dirinya diinjak-injak, ia pun balas memukul suporter itu dengan memakai tripod kameranya. Selama dua minggu, mulut Ocha susah mencerna makanan sebab peristiwa itu.

Suatu sore di Karebosi, alun-alun di Makassar, saat tim inti PSM sedang uji coba melawan tim PSM Habibie Cup, Selasa (15/02/05). Para supporter begitu antusias menonton. Ada yang berkomentar ke orang yang ada di sampingnya, seperti gaya seorang komentator bola di televisi. Berusaha memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapi oleh PSM dengan pemain-pemain barunya.

Ada pula yang berteriak mengumpat seorang pemain yang tidak disukainya atau pemain yang gagal membuat gol. Biasanya ketika seorang pemain bermain gemilang, ia dielu-elukan dan ditepuktangani ketika ia berdiri dekat dari suporter. Para suporter terus melambaikan tangan sampai pemain itu menoleh dan membalasnya dengan senyum. Para suporter berjejalan menonton. Ada yang berdiri di atas motornya yang diparkir di dekat lapangan, ada pula yang bertumpuk menempel di pagar pembatas lapangan.

Keramaian ini membawa berkah bagi para pedagang kaki lima di sekitarnya. Termasuk tukang parkir yang memungut limaratus sampai seribu rupiah dari setiap motor atau mobil yang diparkir di wilayah kekuasaannya. Ketika itu pertandingan usai dengan skor 7-1, untuk kemenangan tim inti. Setelah para pemain kembali ke bis rombongan, Miroslav Janu masih di lapangan. Ia singgah berbincang dengan beberapa pengurus PSM. Sementara ia serius bercerita, tiga anak kecil menyela dan menyodorkan kertas untuk ditandatangani. Seorang wartawan lalu berkomentar: Pelatih bule ini beda dengan pelatih bule PSM sebelumnya, seperti Henk Wullems contohnya. Selain suporter dewasa, Miro juga akrab dengan suporter cilik. Kini Miro telah hengkang dari PSM karena alasan gaji yang tak cocok. Ia pun digantikan M Basri, pelatih dari Makassar. [daeng ammang; dari buku'Makassar Nol Kilometer']



No comments: