Thursday, June 7, 2007

Makassar Musim Baliho; Fenomena Politik Sulsel


Biarpun sudah ada larangan, tetap saja bandel. sampai-sampai dua siswi yang melintas
di depannya ikut terpingkal-pingkal. lokasi pemotretan di perempatan karebosi.


Seperti halnya di tempat-tempat lainnya di Indonesia, yang baru belajar menerapkan prinsip demokrasi. Desentralisasi, atau otonomi daerah bukannya memberi jawaban-pasti bagi warganya yang selama ini dililit pelbagai masalah. Yang muncul, ya raja-raja kecil yang tetap menindas atau mappadongo-dongo (bahasa bugis) kaum papa, usai raja besar tumbang. Apa yang berubah setelah orde demi orde silih berganti. Apa manfaat buat si Sangkala, yang dedari dulu begitu-begitu saja. Malah, masalahnya bertambah ketika anak sulungnya minta dibelikan hengpong di MTC (ponsel/handphone)

Mencuri pandang pejalan di jejalan. Meminjam tips atau ilmu dari para kreatif-pekerja iklan. Pepolitikus makin rakus. wajah-wajahnya seolah meneror siapa saja. Di Warung Kopi, di Warung Makan, di Pete-pete, di perempatan, di tikungan, di lapangan bola, di lampu merah, di becak, di televisi, di mall, di sekolah, di buku-gratis, di gelas minuman kita, di kaca belakang mobil, di bawah plat motor, di baju tukang becak, di baju atlit PON, di koran-koran, di toko-toko, di perbatasan kota/kabupaten, di alQur'an, di kalender tetangga, di kartu ibu&bayi. Di mana saja, yang pasti bisa menohok memata kita. Apa itu bisa jadi alasan supaya mereka dipilih kelak. Kalau saya sih, sampai tulisan ini saya buat, sepertinya mantap untuk tidak memilih mereka, atau tidak memilih siapa-saja nanti di Pilkadal. Seorang Analis Politik, malah pernah mengumbar: memilih di pemungutan suara itu bisa ikut menanggung dosa kolektif, buah dari yang diperbuat orang yang dipilih. Misalnya, apa yang diperbuat George Walker Bush pada manusia di Irak, warga AS yang memilihnya, menurut pakar itu, sebenarnya ikut bersama-sama menenggelamkan dirinya di kubangan nista para politikus busuk.

Mahasiswa yang kuliah di program studi Ilmu Politik Unhas [almamater saya dulu] berkilah: 'Kalau ada yang bilang politik itu kotor. Mari kita sama-sama membersihkannya'. Benarkah akan terjadi demikian? Tak ada yang tahu. Yang pasti ulah-laku pepolitikus di Makassar, berbuah baliho, spanduk, stiker, atau tetanda lainnya di mana-mana. Industri Advertising tumbuh subur, di Makassar banyak percetakan-kagetan yang menginvestasikan mesin cetak senilai ratusan juta sampai miliaran rupiah. Politik memang selalu mengiming-imingi sesuatu yang wah, memaksa mengorbankan segalanya: dari lendir sampai keringat.

[NB:menampilkan hanya satu kandidat dari sekian, bukan bermaksud menistakan atau pro ke kandidat yang lain. tidak demikian cappo', yang pasti baliho ini yang paling menohok mata si fotografer atau orang yang melintas di depan baliho ini]

Paotere, Diwariskan untuk Dijaga

kelasi-kelasi nongkrong di tepi Phinisi, usai kerjaan tuntas.


kekotoran ini tidak muncul tiba-tiba. Ini ulah sengaja manusia.

Dedahulu, tempat ini bukan bernama Paotere. Ia lebih sering disebut Gusung, atau kampung Cambayya. Tempat berlabuh Phinisi atau Lambo yang pulang dari seberang. Hanya karena di sekitar tempat ini banyak tempat pembuatan tali tambang kapal yang dalam bahasa Makassar berarti Otere'. Paotere berarti pembuat tambang kapal. Ya, semacam home-industry-lah. Itu cerita Ayahku yang bermukim dekat dari Paotere, sejak tahun 1950-an.

Dedari dulu tempat ini memang masyhur. Tak kalah dari Pelabuhan Sunda Kelapa, di Jakarta, yang juga dipenuhi Phinisi dan Lambo dari Butta Mangkasara. Kalau Sekarang? Sekarang, pelabuhan ini masih ramai. Selain dipenuhi oleh kekapal, baik itu yang layak atau tidak-layak berlayar, juga dipenuhi sampah-sampah dari manusia di sekitarnya. Biasanya sih, kalau yang pulang hunting-foto dari Paotere, bawa oleh-oleh foto cantik. Memang tempat ini sering jadi obyek berburu para fotografer, apalagi yang mau difoto Pre-Wedding. Namun, adakah yang peduli dari akibat ulah-nista manusia yang tidak baik mewarisi temurun dari kakek-moyangnya yang katanya pelaut ulung. Paotere, sebenar tidak indah-indah amat, atau tidak layak dijadikan obyek pesiar kota atau city-tour yang biasanya buat bule-bule, sebelum kita bercermin di keruhnya air-laut Paotere.
mengangkat beban yang jauh dari berat tubuh sendiri.
Bukan untuk siapa-siapa, selain tambatan hati di rumahnya.

Atau, adakah yang peduli dengan nenasib buruh angkut-muat yang upahnya jauh dari upah minimun regional propinsi. Ya, dedulu sampai kekini, mereka selalu menjadi Sawi, yang selalu bermimpi menjadi Punggawa. Entahlah?