Thursday, November 29, 2007

Saya Pusing Jadi Orang Indonesia

Mereka masih turun ke jalan, entah sampai kapan? Ini tanggung-jawab penguasa

Pilkadal di kampung saya baru saja usai ( 5 Nov). Ada yang menggugat --tentu dari kubu lain, ada yang menunggu janji-janji yang pernah terlontar dibayar, pula ada yang tetap pesimis dengan keadaan yang sementara berlangsung di Sulsel kini. Apa yang terjadi sebenarnya? Kubu pemenang menjanjikan pendidikan dan kesehatan gratis. Apakah hal itu betul-betul nyata? Saya belum percaya. Hal itu menurutku hanya bohong belaka dari seorang pembual yang pandai mengelabui orang banyak. Sebab, seorang bijak dari seberang berpendapat bahwa penguasa atau politisi jaman sekarang tak lebih seperti seekor ular yang selalu berganti kulit. kulitnya saja yang terganti, bisanya tetap mematikan. Kalau penguasa pun begitu, ia bisa saja menggunakan baju koko dan kopiah agar dicap bertakwa, rajin menyantuni pengurus masjid agar dilabeli dekat dengan umat, sementara usai pulang dari masjid, nyambung ke Night Club atau di kamar hotel nyabu bersama teman-temannya yang lain. (Tren pejabat yang berlaku sekarang seperti ini kurang lebih)

Masih dengan perihal perkataan orang bijak itu, di masa yang akan datang, kurang lebih 14 tahun kemudian, penguasa-penguasa yang sementara ini berkuasa di masa itu sudah banyak yang tewas. Mungkin ada yang kena serangan jantung, stroke atau penyakit lainnya yang kerap diidap oleh orang kaya. Jadi, bangsa ini membutuhkan lowongan pekerjaan sebagai pemimpin-pemimpin yang seperti dijabat oleh orang-orang yang sementara menjabat ini. 14 tahun itu bukan waktu yang lama, tanpa disadari putaran jarum di arloji kita sudah membawa kita ke masa itu. Pasti, jika ingin semua yang ada di bangsa ini selamat, seperti yang selalu dicita-cita-luhurkan, kita harus mempersiapkannya. Tentunya dengan konsep yang seideal mungkin.

Tapi, apakah mungkin 14 tahun ke depan itu kondisinya akan lebih bagus atau bangsa ini sudah hangus, jika calon-calon penguasa ini (usianya sekitaran umur saya) dinina-bobokan oleh kemilau permata dan gepok demi gepok rupiah di depan matanya. Contohnya, seorang teman angkatan saya yang menuduh saya sebagai orang yang bodoh karena saya memilih Golput pada Pilkadal kemarin. Saya tenang-tenang saja. Tak perlu saya menyalahkannya, sebab hal itu sudah tugasnya sebagai tim sukses dari salah satu kandidat. Paling-paling dia khawatir kehilangan poin demi poin karena demam Golput lagi marak-maraknya. Ikut gabung sebagai broker politik adalah pilihannya, orientasinya merapat dan ikut menikmati "kue" yang sementara disantap oleh mereka-mereka yang jauh dari kemaslahatan umat.

Satu contoh lagi dari seorang kawan yang malu-malu ketika ia kudapati di sebuah klub malam di Makassar. Ia pentolan HMI kala masih mahasiswa, ketika sarjana ia ikut di Campaign Team. Saya curiga, duduk di antara kawan-kawannya, ditemani beberapa jenis minuman beralkohol sambil menyaksikan penari yang hampir saja telanjang, adalah sesuatu yang tak pernah ia perkirakan akan ia alami atau singgah sebagai pengalaman hidupnya oleh karena bacaan dan diskusi-diskusi di pojok-pojok kampus. Ke mana perginya bacaan-bacaannya itu, lari entah ke mana semua konsep ideal yang dulu singgah di kepalanya. Apakah karena pengangguran yang begitu keji sehingga ia melakukan hal itu. Saya tak percaya kalau ranah ideal hanya ada di kampus belaka. Ia bersemayam di hati nurani kita masing-masing.

Musim kampanye dan Pilkadal sudah selesai,
saatnya melunasi utang-janji pada rakyat


Penguasa atau pemimpin di tiap wilayah negeri ini apakah betul representasi rakyatnya? menjadi Gubernur di Jakarta butuh duit sekitar 400 milyar yang harus dibayar ke partai-partai politik. Jakarta, kata si bijak yang tadi, kehilangan calon pemimpin yang bisa menyelamatkan warganya dari jurang kehancuran karena si calon ini miskin. Mau ambil duit di mana 400 milyar. Begitu pula di tempat-tempat lainnya yang ada di Indonesia. Mengklaim suatu kaum sebagai basis massa adalah komoditas yang laku dijual di jaman pilkadal. Partai politik adalah pintu masuk, di situ ada karcis yang harus dibayar, sudah itu masih banyak lagi tetek-bengek yang harus dilunasi. Berarti menjadi pemimpin itu tidak boleh miskin. Jawab saya, ia boleh miskin harta tapi tak boleh miskin ide dan nilai-nilai luhur yang menjunjung kepentingan sesama.

Kuli jalan tak pernah dicatat sejarah paling tidak
diperhatikan nasibnya, meski perannya
sungguh vital pada pembangunan fisik bangsa ini.

Dengan semua gejala-gejala yang dialami bangsa ini membuat saya pusing menjadi bagian dari bangsa ini. Semoga saja saya bisa belajar dan selalu berbuat adil bagi yang lain dan senantiasa tersadar bahwa hidup ini juga buat yang lain, tamak adalah perbuatan keji dan dibenci Allah. Kalau aku dibilang bodoh karena Golput, sungguh lebih baik aku memotret dan menulis daripada gabung dengan Tim Sukses,... kapan suksesnya ya?
(Teks & Foto oleh DaengAmmang)