Monday, May 14, 2007

Sudut Nasib Penghuni Pasar Cidu


Sebentar lagi, adzan subuh akan terganti oleh deru mesin di pagi buta. Dingin masih terasa, tapi deru mesin parut kelapa itu yang memaksaku beranjak dari tempat tidurku. Rumahku berada di sudut jalan yang ketika pagi hingga siang banyak penjual-pembeli bertemu.

Di sekeliling rumahku banyaklah pedagang kelapa yang menghidupkan mesin parutnya bersamaan. Ditambah dengan bising suara mesin giling tepung. Hari bermula di pasar itu ditandai oleh suara-suara ribut itu. Matahari belumlah tampak, kulihat di luar rumah:telah banyak orang yang menenteng keranjang, meja-meja telah digelar, dan lalu-lalang becak yang mengantar ikan dari Pelabuhan Tradisional Paotere.


Nama pasar itu adalah Pasar Cidu. Ayahku pernah bercerita tentang asal nama pasar ini. Cidu dalam bahasa Makassar artinya runcing. Di tahun 1950-an, pasar ini telah ramai. Letaknya berada di pertigaan jalan: Jalan Sibula-Jalan Tinumbu-Jalan Ujung. Karena itulah namanya cidu, sebab pertigaan jalan itu menyerupai runcing segitiga. Setelah penjual makin banyak, Pasar Cidu pun melebar hingga ke Jl Yos Sudarso I. Penamaan pasar ini berbeda dengan penamaan Pasar Kalimbu di Jl Veteran Utara lantaran waktu ramainya hanya pada dini hari dan orang-orang masih makkalimbu; berselimut, biasanya dengan sarung. Pasar Kalimbu pun meluas sampai ke Jl Kangkung dan Jl Terong, yang biasa disebut Pasar Terong.


Pada tahun 1970-an, pasar ini direlokasi ke wilayah Pannampu. Inilah cikal-bakal lahirnya Pasar Pannampu. Di sekitar Jl Yos Sudarso ini akan dibangun sekolah dasar dan pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) Tabaringan. Oleh pemerintah, semua penjual akan ditempatkan di lokasi yang baru. Sayangnya tidak semua penjual sepakat. Ada yang memilih ikut pindah, ada pula yang bersikeras di tempat semula.


Masih kuingat ketika taman kanak-kanak dulu, beberapa penjual bentrok dengan petugas ketertiban. Penjual-penjual itu kalah hebat, dan meja-mejanya pun dilemparkan ke truk-truk yang telah disiapkan, lalu dimusnahkan. Tetapi, tidak lama setelah peristiwa itu, para penjual akan datang lagi bersama dagangannya, juga para pembeli. Setelah itu ada pengusiran lagi, yang berbuah pemukulan. Begitulah seterusnya, sampai para petugas ketertiban pasar itu mulai bosan dan membiarkan orang-orang tetap berjual-beli.


Kini, Pasar Cidu terbagi di dua tempat yakni pagi sampai siang ramai di sekitar Jl Yos Sudarso I, Jl Cakalang II, dan Jl Tinumbu; sementara sore hanya ramai di antara Jl Tinumbu dan Jl Cakalang saja. Pasar tradisional ini terletak di daerah utara Makassar. Bentuknya tak seperti pasar-pasar lainnya. Tak ada kios yang berjejeran seperti di pasar induk. Hanya ada tenda yang dipasang bila pagi sudah datang, dan dibongkar di siang hari. Hanya meja-meja dagangan yang digelar di tengah jalan, dan usai waktu ramainya pasar, meja-meja itu ditumpuk lagi di tepi jalan. Begitu setiap hari, selain hari Lebaran.


Di Pasar Cidu, hampir semua kebutuhan rumah tangga ada. Dari bumbu masak hingga pakaian bekas (cakar, cap karung). Ikan-ikan yang dijual pun menjadi alasan bagi ibu-ibu rumah tangga mengunjungi pasar ini. Sebab banyak jenis ikan yang dijual di tempat ini, dari ikan teri hingga ikan hiu. Letaknya yang tak jauh dari pelelangan ikan di Paotere, membuat pasar ini lebih ramai karena banyaknya penjual ikan. Hajjah Muliati, seorang ibu rumah tangga yang tinggal jauh dari Pasar Cidu, di Galangan Kapal, memilih untuk berbelanja di pasar ini karena beragam jenis ikan yang bisa dibeli.


Daeng Sido, penjual ikan bolu atau bandeng, bisa menjual berkeranjang-keranjang ikan bolu-nya habis terjual. Ketika hari masih pagi, telah datang penjual ikan bakar memesan berpuluh-puluh hingga ratusan ekor ikan bolu, yang rata-rata per ekor seharga Rp6.000-an. Ikan bolu ini didatangkan dari Pangkajenne Kepulauan (Pangkep, sekitar 50 kilometer dari Makassar). Lelaki yang beristri lebih dari satu ini biasanya telah kembali ke rumahnya di sekitar Jl Barukang ketika waktu pasar belum selesai. Belum zuhur, dagangannya telah habis karena laris. Ada juga Abdul Salam, ia lebih suka menjual jenis ikan seperti Layang, Bannyara’, dan Cakalang.


Pedagang-pedagang ikan inilah yang membuat tempat ini begitu amis tercium. Belum lagi air buangannya yang membuat becek jalanan yang setiap hari dilalui oleh para pembeli. Umumnya penjual ikan di Pasar Cidu bukanlah penduduk yang menetap di pasar tersebut. Mereka rata-rata tinggal di sekitar tempat pelelangan ikan atau di kampung seberang seperti Pannampu, Cambayya, Lembo, dan lain-lain.


Selain penjual ikan yang membuat pasar ini khas, ada banyak penjual lainnya. Daeng (Dg) Saoda, seorang perempuan berusia di atas 60 tahun ini telah lama hidup dari pasar ini. Katanya, ayah saya belum menikah waktu ia pertama kali datang ke Pasar Cidu. Ia berdua bersama adik lelakinya, Daeng Pawero dari Polewali, 200-an kilometer utara dari Makassar. Ia ditinggal pergi oleh suaminya entah ke mana, dan istri Daeng Pawero masih berada di Jeddah, Saudi Arabia, sebagai tenaga kerja. Ia penjual kelapa yang mempunyai dua mesin parut yang sudah “turun-mesin”.


Dari mulut pasar, deru mesin andalannya itu dapat terdengar jelas. Dari kelapa yang masih utuh dengan serabutnya, sampai yang sudah dikupas dan diparut ia jual. Banyak orang yang menyebutnya penjual yang on line 24 jam. Sebab, gadde-nya tidak pernah ditutup, cukup ia yang menjaganya, meski sering kudapati ia mendengkur di meja jualannya ketika malam telah larut. Selain kelapa, Dg Pawero ini juga menjual dagangan lain, misalnya ayam yang masih hidup. Ada yang lucu dari cara menjual Dg Pawero: Ayam yang dijual bisa dikredit. Banyak tukang becak yang menjadi langganannya. Biasanya cukup dengan menyicil pembayaran selama beberapa kali, ayam yang disukai oleh langganannya itu boleh dibawa pulang.


Hidup di pasar membuat saya mempunyai banyak teman; kenalan dari banyak tipe orang, seperti berkumpul dengan tukang becak. Saya pun tahu betapa keras hidup mereka. Tak peduli hujan atau panas, ia mengayuh becaknya atau becak yang juga disewa. Tak peduli berat beban tumpangannya atau upah yang bayarannya. Belum lagi mereka yang telah memiliki tanggungan hidup seperti anak dan istri. Atau, Fadli dan Fahri yang harus meninggalkan sekolahnya untuk membantu orangtuanya berdagang bumbu dapur. Biasa, ketika saya membeli sesuatu ke pedagang yang mangkal di dekat rumahku, sering mereka tak mau menerima uang dariku. Ketika kupaksa, mereka akan menambahkan jumlah barang yang kubeli. Sayur-sayuran pun biasa diantar ke rumahku oleh Dg Mabe, pedagang sayur dari Barombong, tanpa harus dibeli.


Ada satu perihal yang amat tidak kusukai di pasar ini: bau busuk dari kandang ayam potong/broiler di samping rumahku. Sebenarnya kalau ayahku mau keberatan, pedagang ayam potong ini tak boleh menaruh kandangnya. Ketika hujan tiba, luar biasa bau yang tercium dari unggas-unggas itu. Aku harus menarik kain bajuku untuk menutup hidung bila lewat di kandang itu. Karena terbiasa juga, akhirnya aku berkompromi meski rasa busuk itu tetap menusuk hidung. Juga, ketika hujan deras tiba, kaki-kaki akan belepotan oleh lumpur yang terpercik karena sandal yang kita pakai.


Di pasar ini, mungkin seperti pasar lainnya, banyak orang berlaku sebagai makelar yang meng-kavling tempat, untuk dijual atau disewakan ke penjual yang datang dari tempat lain. Tempat yang kosong di sepanjang jalan yang dipakai berjualan, biasanya telah ada yang mencaploknya. Lebarnya tak terlalu luas, cukup duameteran untuk sebuah meja bagi penjual ikan, atau selebar dua karung beras bagi pedagang rempah-rempah. Pojok kiri depan rumahku telah dijual senilai jutaan rupiah, oleh orang yang pernah mengontrak di rumahku, dan pernah menjual di tempat ini.


Ada beberapa oknum yang mengaku paling berhak mengatur pasar ini. Setiap hari mereka berpatroli sambil membawa megaphone. Mereka tak segan meneriaki pedagang atau tukang becak yang tak disenanginya. Pernah terjadi bentrok antara mandor keamanan dengan orang yang merasa paling berhak menempati lahan yang kosong di depan rumahnya. Klaim itu tak diterima baik oleh sang mandor, penuh makian terlontar dari mulut sang mandor. Untunglah tak sempat terjadi pertumpahan darah. Banyak orang yang bilang kalau pasar ini tetap pasar liar, meski sudah dipunguti retribusi oleh pegawai honor dari Pemerintah Kota, yang katanya sebagai pungutan kebersihan pasar. Nyatanya, tempat ini masih kotor dan semerawut. Setiap hari para pedagang harus membayar seribu rupiah pada Pasussung yang berseragam pegawai dinas pemerintahan.[daengammang/Makassar Nol Kilometer]


No comments: