Di sekeliling rumahku banyaklah pedagang kelapa yang menghidupkan mesin parutnya bersamaan. Ditambah dengan bising suara mesin giling tepung. Hari bermula di pasar itu ditandai oleh suara-suara ribut itu. Matahari belumlah tampak, kulihat di luar rumah:telah banyak orang yang menenteng keranjang, meja-meja telah digelar, dan lalu-lalang becak yang mengantar ikan dari Pelabuhan Tradisional Paotere.
Nama pasar itu adalah Pasar Cidu. Ayahku pernah bercerita tentang asal nama pasar ini. Cidu dalam bahasa
Pada tahun 1970-an, pasar ini direlokasi ke wilayah Pannampu. Inilah cikal-bakal lahirnya Pasar Pannampu. Di sekitar Jl Yos Sudarso ini akan dibangun sekolah dasar dan pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) Tabaringan. Oleh pemerintah, semua penjual akan ditempatkan di lokasi yang baru. Sayangnya tidak semua penjual sepakat.
Masih kuingat ketika taman kanak-kanak dulu, beberapa penjual bentrok dengan petugas ketertiban. Penjual-penjual itu kalah hebat, dan meja-mejanya pun dilemparkan ke truk-truk yang telah disiapkan, lalu dimusnahkan. Tetapi, tidak lama setelah peristiwa itu, para penjual akan datang lagi bersama dagangannya, juga para pembeli. Setelah itu ada pengusiran lagi, yang berbuah pemukulan. Begitulah seterusnya, sampai para petugas ketertiban pasar itu mulai bosan dan membiarkan orang-orang tetap berjual-beli.
Kini, Pasar Cidu terbagi di dua tempat yakni pagi sampai siang ramai di sekitar Jl Yos Sudarso I, Jl Cakalang II, dan Jl Tinumbu; sementara sore hanya ramai di antara Jl Tinumbu dan Jl Cakalang saja. Pasar tradisional ini terletak di daerah utara
Di Pasar Cidu, hampir semua kebutuhan rumah tangga ada. Dari bumbu masak hingga pakaian bekas (cakar, cap karung). Ikan-ikan yang dijual pun menjadi alasan bagi ibu-ibu rumah tangga mengunjungi pasar ini. Sebab banyak jenis ikan yang dijual di tempat ini, dari ikan teri hingga ikan hiu. Letaknya yang tak jauh dari pelelangan ikan di Paotere, membuat pasar ini lebih ramai karena banyaknya penjual ikan. Hajjah Muliati, seorang ibu rumah tangga yang tinggal jauh dari Pasar Cidu, di Galangan Kapal, memilih untuk berbelanja di pasar ini karena beragam jenis ikan yang bisa dibeli.
Daeng Sido, penjual ikan bolu atau bandeng, bisa menjual berkeranjang-keranjang ikan bolu-nya habis terjual. Ketika hari masih pagi, telah datang penjual ikan bakar memesan berpuluh-puluh hingga ratusan ekor ikan bolu, yang rata-rata per ekor seharga Rp6.000-an. Ikan bolu ini didatangkan dari Pangkajenne Kepulauan (Pangkep, sekitar 50 kilometer dari
Pedagang-pedagang ikan inilah yang membuat tempat ini begitu amis tercium. Belum lagi air buangannya yang membuat becek jalanan yang setiap hari dilalui oleh para pembeli. Umumnya penjual ikan di Pasar Cidu bukanlah penduduk yang menetap di pasar tersebut. Mereka rata-rata tinggal di sekitar tempat pelelangan ikan atau di kampung seberang seperti Pannampu, Cambayya, Lembo, dan lain-lain.
Selain penjual ikan yang membuat pasar ini khas, ada banyak penjual lainnya. Daeng (Dg) Saoda, seorang perempuan berusia di atas 60 tahun ini telah lama hidup dari pasar ini. Katanya, ayah saya belum menikah waktu ia pertama kali datang ke Pasar Cidu. Ia berdua bersama adik lelakinya, Daeng Pawero dari Polewali, 200-an kilometer utara dari
Dari mulut pasar, deru mesin andalannya itu dapat terdengar jelas. Dari kelapa yang masih utuh dengan serabutnya, sampai yang sudah dikupas dan diparut ia jual. Banyak orang yang menyebutnya penjual yang on line 24 jam. Sebab, gadde-nya tidak pernah ditutup, cukup ia yang menjaganya, meski sering kudapati ia mendengkur di meja jualannya ketika malam telah larut. Selain kelapa, Dg Pawero ini juga menjual dagangan lain, misalnya ayam yang masih hidup.
Hidup di pasar membuat saya mempunyai banyak teman; kenalan dari banyak tipe orang, seperti berkumpul dengan tukang becak. Saya pun tahu betapa keras hidup mereka. Tak peduli hujan atau panas, ia mengayuh becaknya atau becak yang juga disewa. Tak peduli berat beban tumpangannya atau upah yang bayarannya. Belum lagi mereka yang telah memiliki tanggungan hidup seperti anak dan istri. Atau, Fadli dan Fahri yang harus meninggalkan sekolahnya untuk membantu orangtuanya berdagang bumbu dapur. Biasa, ketika saya membeli sesuatu ke pedagang yang mangkal di dekat rumahku, sering mereka tak mau menerima uang dariku. Ketika kupaksa, mereka akan menambahkan jumlah barang yang kubeli. Sayur-sayuran pun biasa diantar ke rumahku oleh Dg Mabe, pedagang sayur dari Barombong, tanpa harus dibeli.
Di pasar ini, mungkin seperti pasar lainnya, banyak orang berlaku sebagai makelar yang meng-kavling tempat, untuk dijual atau disewakan ke penjual yang datang dari tempat lain. Tempat yang kosong di sepanjang jalan yang dipakai berjualan, biasanya telah ada yang mencaploknya. Lebarnya tak terlalu luas, cukup duameteran untuk sebuah meja bagi penjual ikan, atau selebar dua karung beras bagi pedagang rempah-rempah. Pojok kiri depan rumahku telah dijual senilai jutaan rupiah, oleh orang yang pernah mengontrak di rumahku, dan pernah menjual di tempat ini.
No comments:
Post a Comment