Thursday, February 21, 2008

Eksplorasi Usia Senja

nenek tua dan buta di Bajawa, Flores

Daeng Ajji, pikun menghitung uang kembaliannya

Emma' Hati', tetap bahagia di usia senjanya

Menunggu keluarga berbelanja di FO Heritage, Bandung

Nenek tua penjual jagung bakar di jalan AP Pettarani, sebentar ia tergusur proyek Flyover.
Jamaah An-Nazir dari Toli-toli, sesaat usai shalat idul fitri di Mawang, Gowa.
Raja Kunci dari Tamalanrea


Penyair Chairil Anwar lewat puisinya yang masyhur, Derai Derai Cemara berujar, "Hidup hanya menunda kekalahan..." Tapi di puisi lainnya ia berteriak, "Aku mau hidup seribu tahun lagi.". Dari dua penggalan puisi ini paling tidak, saya yang awam dalam hal kesusastraan, menyimpulkan bahwa akar masalah Chairil adalah persoalan waktu. Dan, berangkat dari rasa penasaran mengekplorasi waktu inilah, saya mengabadikan ekspresi wajah-wajah tua, manusia-manusia yang telah berenang jauh menyusuri waktu.

Biarlah persoalan kata dan makna waktu dibahas oleh penafsir atau sastrawan saja, diri saya ini hanyalah seorang yang gemar mengabadikan gambar. Teman-teman saya menggelari saya sebagai fotografer. Lewat foto-foto ini saya mau berbagi, atau menawarkan sebuah "cermin" yang tidak terbuat dari kaca.

Menjadi tua. Ada yang ingin menjalaninya dengan bahagia dan pikiran positif, tapi tidak sedikit yang ingin mengingkarinya. Perlahan-lahan pandangan merabun, kulit merapuh, rerambut gugur helai demi helai, geligi tanggal satu-satu. Bagi yang tidak rela menjadi tua, jelas akan menjadi sasaran empuk kalangan bisnis. Bermunculanlah satu demi satu merek yang menawarkan anti tua. Obat awet muda marak di mana-mana. Keriput kulit bisa dimuluskan, rambut uban cukup disemir, agar tidak menjadi si bongkok harus minum susu berkalsium tinggi, begitu seterusnya. Peperangan melawan usia adalah salah satu iklan yang membanjir di tengah kita!

Menjadi tua dalam fotografi sebenarnya tidak harus tampil hitam putih atau sephia. Di era digitalisasi fotografi, hitam putih atau sephia hanya kesepakatan biasa saja untuk menggolongkan sesuatu yang menjadi tua. Dalam karya-foto saya ini semua manusia yang ada memang dalam potret hitam putih. Kata Oscar Motulloh, pesohor fotojurnalis Indonesia, foto hitam putih itu karakternya kuat. Tapi, bukan berarti supaya karakternya kuat, foto ini mengeliminasi kejompoan mereka.

Menjadi tua memang selalu menimbulkan masalah atau kekhawatiran berlebih yang mungkin pada siapa saja yang muda. Seringkali hati seorang kakek atau nenek menjadi lara, ketika anak atau cucunya lebih memilih mengarantina dirinya di panti jompo. Walau pun hal itu sekadar perbedaan persepsi "kasih" antara si kakek atau nenek dengan cucu atau anaknya. Seorang kakek di pelabuhan Paotere misalnya merasa diperdaya, dan dengan bingung ia menghitung uang yang diterimanya oleh orang-orang muda di sekitarnya. Tidak sedikit juga lansia yang mengisi hari-hari mereka dengan termenung-murung. Atau karena luasnya anggapan bahwa orang jompo patut disantuni, membuat beberapa nenek memilih menjalankan hari tua dengan mengemis di Jalan Gunung Latimojong Makassar. Wajah tua memelas, mengundang belas kasihan, bukan?

Tapi tidak semua orang yang menjadi tua menganggap usia senja adalah hambatan atau kehampaan. Seorang jamaah An Nazir yang saya potret usai berlebaran tahun lalu, jauh-jauh datang dari Toli-toli, Sulawesi Tengah. Ribuan kilometer ditempuhnya menuju Gowa, Sulawesi Selatan, pusat ajaran agama ini. Saya juga bertemu nenek yang sudah buta, tapi masih bersemangat menjual kain tenunan di pedalaman Bajawa, Flores. Ada pula yang menjual jagung di Jalan AP Pettarani yang sebentar lagi tergusur flyover. Dan, ada lansia yang tetap semangat berusaha, menjalankan gerai “Raja Kunci” di Tamalanrea.

Usia biologis manusia sudah pasti akan terus bertambah dan terus bertambah. Tapi semangat, kegigihan, perlawanan atau pun kepasrahan terhadap usia, selalu berbeda bagi setiap orang. Bagaimana memaknai usia, waktu, dan hari tua, jelas adalah pilihan!

(dimuat di www.panyingkul.com)