Sunday, May 20, 2007

Bukan Kutub Utara, Bukan Kutub Selatan

[Muhammad Nur Abdurrahman a.k.a Daeng Ammang/Makassar Nol Kilometer]

Minggu siang di sebuah pentas seni SMU Negeri 1 Makassar. Bising suara musik dari sound system yang disusun seperti miniatur gedung pencakar langit. Abdul Syukur tampak serius memperhatikan setiap gadis yang melintas di depannya. Usianya kini 25 tahun. Ia tak mau melewatkan acara itu karena yang menjadi bintang tamu adalah band terkenal, Superman Is Dead (SID). Apalagi banyak cewek-cewek mancek[1] di tempat itu, katanya.

Ketika kuhampiri, ia masih menyisir satu-satu wajah manis siswi SMU yang hari itu tidak berseragam putih abu-abu.

“Coba kau lihat cewek yang pake rok coklat muda itu, yang dipeluk cowoknya. Cantik!” katanya padaku. Mungkin ia merasa iri pada lelaki di samping perempuan itu.

“Kau tak kalah tampan, cuma kalah keren,” kataku. Ia hanya tertawa.

Meski hari itu cukup panas, ia tak melepas jaket jeans yang ia pakai. Jaketnya dipadu dengan celana jins belel. Sebelum kutemani, ia merasa sangat asing di tempat itu. Berikutnya, ia tak segan lagi mengomentari apa-apa yang ia lihat.

Lapangan basket, tempat acara itu berlangsung, dipenuhi gadis-gadis yang tampil mentereng. Bila berdiri di dekatnya atau ketika mereka melintas, akan tercium wangi parfum dari tubuh mereka. Busana yang dipakai gadis-gadis itu, bila terlihat jelas mereknya, tidak adalah pakaian yang diiklankan oleh MTV. Ada pula bergaya anak muda perkotaan; pakaian dibeli di distro (distribution outlet) atau di clothing-an. Di tempat lain, di depan pintu masuk, sekumpulan anak punk dengan rambut gimbal dan rambut mohawk, seperti tak mau kalah dari yang lainnya. Bersepatu Converse kain hitam dengan tali pengikat berwarna merah dipadu celana jins ketat. Mereka sementara menunggu sang idola: SID. Pentas itu memang menjadi ajang pertemuan gaya anak-anak muda Makassar.

Abdul Syukur tinggal di Jalan Tinumbu, bagian utara Makassar, sebab itu ia disebut Anak Utara. Ia tak tamat SMA. Ia bekerja paruh waktu sebagai cleaning service di sebuah gedung serbaguna, terutama bila perkawinan atau seminar. Hari-harinya banyak dihabiskan di ujung gang dekat rumahnya, berkumpul dengan teman sebaya berteman gitar dan beberapa botol minuman beralkohol. Di daerahnya, rumah-rumah padat berjejalan dan berdesakan seperti berjejalnya warga yang menonton perkelahian antar gang dan lorong[2] yang memang kerap terjadi di kawasan tempat tinggalnya.

Di daerah Abdul Syukur dikenal istilah Capoa yang merupakan singkatan dari Cammara na Pota, yang berarti comberan dan lumpur kotor. Istilah itu sering dipakai untuk mengomentari wanita yang selalu berpakaian warna terang (merah, kuning, jingga, hijau) dengan make up menor; bedak atau gincunya tebal. Capoa juga bisa berarti enceng gondok, tumbuhan air yang banyak didapati di daerah utara bila musim hujan tiba. Gaya Capoa, umumnya disandang oleh mereka yang bekerja sebagai buruh di pabrik-pabrik yang ada di sepanjang jalan tol, di kawasan perindustrian Makassar. Atau mereka yang bekerja sebagai karyawan di sejumlah toko di Pasar Sentral. Kadang sepulang bekerja, gadis-gadis itu diteriaki: “Wei Capoaaa!!”

Selain Capoa, juga dikenal gaya Sindangdut, diambil dari kata ‘dangdut’, sebutan orang yang dandanannya mirip penyanyi dangdut. Dikenal juga gaya Ana’ Layang[3], tak jauh berbeda dengan Capoa dan Sindangdut, identik dengan busana yang terkesan memaksakan ikut tren mode. Ketika celana model senapan lagi top, misalnya, celana yang ujungnya lebar ini, juga banyak dipakai oleh Ana’ Layang. Namun, ujung celana itu dibuat semakin lebar berkibar, sehingga terkesan dipaksakan dan sangat boros kain.

Seperti model berpakaian, model rambut juga selalu menjadi fenomena di kalangan anak utara. Ketika model rambut Mohawk yang dipopulerkan pesepakbola David Beckham digemari, serentak model rambut itu dicontohi oleh Anak Utara, dan semakin dilebih-lebihkan dengan mewarnai rambut mereka.

Sama pula ketika band Peter Pan, yang mengorbitkan Ariel, sedang menjulang pamornya. Dandanan Ariel, dari ujung bawah ke atas, dijiplak habis-habisan. Cambang dipanjangkan, rambut dibelah tengah, dan jins model senapan. Meski tak betul-betul mirip, mereka berusaha mengikuti tren dengan cara mereka sendiri, entah itu rambut dicat atau dianeh-anehkan.

Sementara Anak Selatan tampak biasa-biasa saja; tak banyak yang berubah. Anak Selatan lebih terpengaruh pada gaya anak Bandung: memakai pakaian dari distro (distribution outlet), toko pakaian yang biasa menjual produknya dengan edisi terbatas, yang biasanya didatangkan dari Bandung.

Fenomena merebaknya distro sendiri, telah mulai ada sejak tahun 2000. MMC adalah salah satu distro pertama di Makassar. Hingga kini, telah ada sekitar sepuluh distro di Makassar. Menjadi kebanggaan tersendiri bagi Anak Selatan bila berdandan ala mojang Priayangan. Andika, seorang mahasiswa Unhas yang tinggal di Jalan Cendrawasih, daerah selatan Makassar. Ia merasa percaya diri dengan dandanan yang belinya di distro. Biasa pula ia menitip dibelikan kaos oblong ke temannya yang kebetulan baru datang dari Bandung. Ira dan Maya, siswi SMU Negeri 1 Makassar, sangat senang tampil di muka umum dengan pakaian yang belinya di distro.

Gaya Capoa, Singdangdut, dan Ana’ Layang adalah sebutan yang hanya ada di daerah utara Makassar, terutama sekitar Jalan Tinumbu, Kandea, Barukang, Cambayya, dan Tallo. Bisa saja akan ada kemiripan dengan gaya anak muda di tempat lain. Ada sebagian orang yang menganggap bahwa Anak Utara itu kalah keren dari Anak Selatan. Seorang pemuda dari Pasar Cidu, Anca’, daerah utara Makassar, yang sedang menonton festival musik di Monumen Mandala, merasa dirinya jauh beda dengan anak muda yang lain. “Sangat beda kelihatannya kita dengan mereka (anak Selatan),” katanya.

Ada juga yang mengatakan kalau gaya Anak Utara memang khas kampungannya lantaran tak bisa padukan warna yang sesuai dalam berpakaian. Tapi anggapan ini dibantah Nur Azizah, siswi SMU Negeri 4 Makassar, yang letak sekolah berada di daerah utara. “Tak bisa jadi alasan untuk menyimpulkan kalau semua Anak Utara adalah kampungan. Bisa saja ada anak dari selatan yang lebih udik. Memang sebagian sih ada, tapi tidak semua dong,” serunya.

Stigma bahwa anak dari utara tertinggal dalam hal gaya, dibanding dengan anak muda dari selatan, mungkin karena faktor citra mereka yang tampak. Pemerhati budaya di Makassar, Aslan Abidin berpendapat, seringkali banyak orang menilai modern atau tidak pada seseorang adalah pada citra atau gaya hidupnya yang tampak, seperti apa yang dikenakan, ditonton, atau dikonsumsi. Sementara untuk mendapatkan gaya hidup itu, butuh uang yang tidak sedikit. Sehingga, ia beralasan bila anak-anak dari daerah yang lebih miskin berpenampilan atau bergaya hidup ‘modern’, mungkin ada beberapa anak orang kaya dari daerah utara, tapi karena tidak banyak, atau mungkin tidak bergaul di daerahnya. Sehingga ia tidak dapat membentuk gaya hidup ‘modern’ daerahnya. Tapi bila yang dimaksud modern adalah persoalan cara berpikir, maka tentu ukurannya adalah kualitas isi kepala.

Pengkategorian gaul di Makassar sering pula dikaitkan dari apa yang ada di tempat itu. Misalnya, sebuah harian yang terbit di Makassar, memberitakan gaya hidup anak muda, khususnya usia belasan, dengan mengambil sampel hanya pada sekolah-sekolah yang letaknya di daerah selatan. Di daerah selatan, setidaknya ada empat SMU yang menonjol dibanding SMU lain. Keempat sekolah itu adalah SMU Negeri 2, SMU Negeri 1, SMU Kartika Chandra Kirana, dan SMU Islam Athirah.

Keempat sekolah ini, menurut sebagian orang, “unggul” sebagai pencetak siswa-siswa keren. Tapi, menurut Dinarum, dulu ia sekolah di SMU Negeri 2, anak-anak satu sekolahnya biasa saja. Kalau pun ada yang bilang lebih eksklusif dibanding dari sekolah lain, mungkin karena ada beberapa orang saja yang kelihatan berduit, membawa mobil ke sekolah, atau gaulnya di mall atau di TO (Bioskop Twenty One). Itu hanya penilaian dari orang yang ada di luar saja, tambahnya. Sebenarnya, harian itu punya alasan juga, keempat sekolah ini ketika membuat acara, seperti pentas seni, memang selalu terlihat “wah”, mulai dari format acara yang lebih inovatif sampai bintang tamu yang mereka undang. Tentu, mereka yang datang ke acara ini, selalu akan tampak “sempurna”.

Sementara siswa SMU yang ada di daerah utara, bukannya merasa tertinggal. Mereka punya acara sekolahan juga yang tak kalah ramainya dengan pentas seni Anak Selatan. Acaranya seperti bazaar, festival musik, atau pertandingan olahraga. Pengunjungnya banyak dari siswa atau dari daerah sekitar sekolah saja. Sekolah anak utara pun tak kurang prestasinya dibanding sekolah anak selatan, misalnya siswa-siswa SMU Negeri 4 menjadi langganan juara infitasi bola basket antar SMU se-Makassar, bahkan telah beberapa kali diutus mewakili Indonesia Timur dalam kompetisi nasional.

Anak selatan boleh punya Mario, De Club, atau Botol Musik sebagai tempat clubbing dan merasai gemilangnya malam. Anak Utara juga punya Pharos Nite Park, tempat kumpul para pedisko dari daerah utara. Banyak dari mereka yang pintar bergoyang laiknya seorang penari hebat. Di Pharos, ketika malam kamis (ladies night), mereka hanyut di lautan gerlap cahaya, penuh gegap-gempita, meski tanpa tequila.[*]


[1] Istilah anak muda Makassar untuk menyebut kata ‘cantik’.

[2] Lebih jauh tentang perang antar kelompok dapat baca tulisan tentang ini di halaman …

[3] Ana’ Layang adalah sebutan bagi anak muda yang tinggal di Jalan Sibula Dalam-Kampung Layang, juga terletak di daerah utara Makassar.