Friday, May 18, 2007

Agus; Kawanku Seorang Fire-Eater


Setiap pertunjukan pasti ada satu dalang
Supaya ada yang bisa kita bawa-pulang untuk dikenang

Dunia gempita malam, hambar terasa tanpa atraksi
seperti nasi lalapan tanpa terasi

Agus, selalu menyembur [api] di saat suasana di klubnya memuncah,
apinya besar,...
tak seperti api provokator yang selalu menyulut
di saat suasana semakin keruh

Agus seorang Fire-Eater di ColorsPub
kukenal pada satu jaman,....

Tuesday, May 15, 2007

Sunatan Massal








(bait demi bait milik Iwan Fals)

Bukan lantaran kerjaan brutal
Ujungnya daging harus dipenggal
Di bumi insan makin berjejal
Hingga terjadi sunatan massal
Tersenyum ramah si bapak mantri
Kerja borongan dapat rejeki
Berbondong bondong bocah sekompi
Mesti dipotong ya disunatin
Si bapak mantri bukannya bengis
Meskipun tampak sedikit sadis
Kerinyut hidung bocah meringis
Sedikit tangis anunya diiris
Buyung menginjak masa remaja
Seiring doa ayah dan bunda
Sebagai bekal masa depannya
Agar menjadi anak yang berguna
Hei sunatan massal Aha aha
Sunatan massal Aha aha
Ditonton orang berjubal jubal
Banyak tercecer sepatu dan sandal
Hei hari bahagia Aha aha
Bersuka ria Aha aha
Ada yang berjoget tari India
Stambul cha-cha dan tari rabana
Hei sunatan massal Aha aha
Ditonton orang
Sunatan massal berjubal jubal
Banyak tercecer sepatu dan sandal

[begitulah kemeriahan yang saya alami beberapa belas tahun silam]

Orator

anonymous (difoto di PMCC Makassar)
pratikum anak-anak Sospol Unhas

Rahmad, mengabdikan masa-mudanya untuk orang banyak (2002-2007)


Gejala virus Kambing Congek mulai menjangkiti manusia. virus ini bukan sembarang virus. manusia biasanya tertular di saat semua janji yang pernah diumbar kembali ditagih. gejalanya: ya pura-pura tuli. seolah tak ada apa-apa. umumnya virus ini diidap oleh manusia yang berprofesi: di legislatif, pemerintahan, atau di sektor yang ada hubungannya dengan hajat hidup orang-banyak.


Untuk membasmi virus ini tak perlu ke dokter THT atau stetoskop. cukup datangkan orator dan kawanannya, dibekali megaphone. perangkat keras megaphone disetel hingga volume teratas. teriak orator harus lantang menyerang. nyalinya harus bisa diadu. tak boleh lari, biar pamong-prajanya ganas-ganas.


Kalau ternyata cara ini masih gagal, ya terpaksa biar Tuhan saja yang membalasnya, cukup doakan mereka, timpakan azab yang pedih seperti peristiwa burung Ababil. Allah mendengar doa orang-orang yang slalu mengingatnya. [daengammang]


Monday, May 14, 2007

Sudut Nasib Penghuni Pasar Cidu


Sebentar lagi, adzan subuh akan terganti oleh deru mesin di pagi buta. Dingin masih terasa, tapi deru mesin parut kelapa itu yang memaksaku beranjak dari tempat tidurku. Rumahku berada di sudut jalan yang ketika pagi hingga siang banyak penjual-pembeli bertemu.

Di sekeliling rumahku banyaklah pedagang kelapa yang menghidupkan mesin parutnya bersamaan. Ditambah dengan bising suara mesin giling tepung. Hari bermula di pasar itu ditandai oleh suara-suara ribut itu. Matahari belumlah tampak, kulihat di luar rumah:telah banyak orang yang menenteng keranjang, meja-meja telah digelar, dan lalu-lalang becak yang mengantar ikan dari Pelabuhan Tradisional Paotere.


Nama pasar itu adalah Pasar Cidu. Ayahku pernah bercerita tentang asal nama pasar ini. Cidu dalam bahasa Makassar artinya runcing. Di tahun 1950-an, pasar ini telah ramai. Letaknya berada di pertigaan jalan: Jalan Sibula-Jalan Tinumbu-Jalan Ujung. Karena itulah namanya cidu, sebab pertigaan jalan itu menyerupai runcing segitiga. Setelah penjual makin banyak, Pasar Cidu pun melebar hingga ke Jl Yos Sudarso I. Penamaan pasar ini berbeda dengan penamaan Pasar Kalimbu di Jl Veteran Utara lantaran waktu ramainya hanya pada dini hari dan orang-orang masih makkalimbu; berselimut, biasanya dengan sarung. Pasar Kalimbu pun meluas sampai ke Jl Kangkung dan Jl Terong, yang biasa disebut Pasar Terong.


Pada tahun 1970-an, pasar ini direlokasi ke wilayah Pannampu. Inilah cikal-bakal lahirnya Pasar Pannampu. Di sekitar Jl Yos Sudarso ini akan dibangun sekolah dasar dan pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) Tabaringan. Oleh pemerintah, semua penjual akan ditempatkan di lokasi yang baru. Sayangnya tidak semua penjual sepakat. Ada yang memilih ikut pindah, ada pula yang bersikeras di tempat semula.


Masih kuingat ketika taman kanak-kanak dulu, beberapa penjual bentrok dengan petugas ketertiban. Penjual-penjual itu kalah hebat, dan meja-mejanya pun dilemparkan ke truk-truk yang telah disiapkan, lalu dimusnahkan. Tetapi, tidak lama setelah peristiwa itu, para penjual akan datang lagi bersama dagangannya, juga para pembeli. Setelah itu ada pengusiran lagi, yang berbuah pemukulan. Begitulah seterusnya, sampai para petugas ketertiban pasar itu mulai bosan dan membiarkan orang-orang tetap berjual-beli.


Kini, Pasar Cidu terbagi di dua tempat yakni pagi sampai siang ramai di sekitar Jl Yos Sudarso I, Jl Cakalang II, dan Jl Tinumbu; sementara sore hanya ramai di antara Jl Tinumbu dan Jl Cakalang saja. Pasar tradisional ini terletak di daerah utara Makassar. Bentuknya tak seperti pasar-pasar lainnya. Tak ada kios yang berjejeran seperti di pasar induk. Hanya ada tenda yang dipasang bila pagi sudah datang, dan dibongkar di siang hari. Hanya meja-meja dagangan yang digelar di tengah jalan, dan usai waktu ramainya pasar, meja-meja itu ditumpuk lagi di tepi jalan. Begitu setiap hari, selain hari Lebaran.


Di Pasar Cidu, hampir semua kebutuhan rumah tangga ada. Dari bumbu masak hingga pakaian bekas (cakar, cap karung). Ikan-ikan yang dijual pun menjadi alasan bagi ibu-ibu rumah tangga mengunjungi pasar ini. Sebab banyak jenis ikan yang dijual di tempat ini, dari ikan teri hingga ikan hiu. Letaknya yang tak jauh dari pelelangan ikan di Paotere, membuat pasar ini lebih ramai karena banyaknya penjual ikan. Hajjah Muliati, seorang ibu rumah tangga yang tinggal jauh dari Pasar Cidu, di Galangan Kapal, memilih untuk berbelanja di pasar ini karena beragam jenis ikan yang bisa dibeli.


Daeng Sido, penjual ikan bolu atau bandeng, bisa menjual berkeranjang-keranjang ikan bolu-nya habis terjual. Ketika hari masih pagi, telah datang penjual ikan bakar memesan berpuluh-puluh hingga ratusan ekor ikan bolu, yang rata-rata per ekor seharga Rp6.000-an. Ikan bolu ini didatangkan dari Pangkajenne Kepulauan (Pangkep, sekitar 50 kilometer dari Makassar). Lelaki yang beristri lebih dari satu ini biasanya telah kembali ke rumahnya di sekitar Jl Barukang ketika waktu pasar belum selesai. Belum zuhur, dagangannya telah habis karena laris. Ada juga Abdul Salam, ia lebih suka menjual jenis ikan seperti Layang, Bannyara’, dan Cakalang.


Pedagang-pedagang ikan inilah yang membuat tempat ini begitu amis tercium. Belum lagi air buangannya yang membuat becek jalanan yang setiap hari dilalui oleh para pembeli. Umumnya penjual ikan di Pasar Cidu bukanlah penduduk yang menetap di pasar tersebut. Mereka rata-rata tinggal di sekitar tempat pelelangan ikan atau di kampung seberang seperti Pannampu, Cambayya, Lembo, dan lain-lain.


Selain penjual ikan yang membuat pasar ini khas, ada banyak penjual lainnya. Daeng (Dg) Saoda, seorang perempuan berusia di atas 60 tahun ini telah lama hidup dari pasar ini. Katanya, ayah saya belum menikah waktu ia pertama kali datang ke Pasar Cidu. Ia berdua bersama adik lelakinya, Daeng Pawero dari Polewali, 200-an kilometer utara dari Makassar. Ia ditinggal pergi oleh suaminya entah ke mana, dan istri Daeng Pawero masih berada di Jeddah, Saudi Arabia, sebagai tenaga kerja. Ia penjual kelapa yang mempunyai dua mesin parut yang sudah “turun-mesin”.


Dari mulut pasar, deru mesin andalannya itu dapat terdengar jelas. Dari kelapa yang masih utuh dengan serabutnya, sampai yang sudah dikupas dan diparut ia jual. Banyak orang yang menyebutnya penjual yang on line 24 jam. Sebab, gadde-nya tidak pernah ditutup, cukup ia yang menjaganya, meski sering kudapati ia mendengkur di meja jualannya ketika malam telah larut. Selain kelapa, Dg Pawero ini juga menjual dagangan lain, misalnya ayam yang masih hidup. Ada yang lucu dari cara menjual Dg Pawero: Ayam yang dijual bisa dikredit. Banyak tukang becak yang menjadi langganannya. Biasanya cukup dengan menyicil pembayaran selama beberapa kali, ayam yang disukai oleh langganannya itu boleh dibawa pulang.


Hidup di pasar membuat saya mempunyai banyak teman; kenalan dari banyak tipe orang, seperti berkumpul dengan tukang becak. Saya pun tahu betapa keras hidup mereka. Tak peduli hujan atau panas, ia mengayuh becaknya atau becak yang juga disewa. Tak peduli berat beban tumpangannya atau upah yang bayarannya. Belum lagi mereka yang telah memiliki tanggungan hidup seperti anak dan istri. Atau, Fadli dan Fahri yang harus meninggalkan sekolahnya untuk membantu orangtuanya berdagang bumbu dapur. Biasa, ketika saya membeli sesuatu ke pedagang yang mangkal di dekat rumahku, sering mereka tak mau menerima uang dariku. Ketika kupaksa, mereka akan menambahkan jumlah barang yang kubeli. Sayur-sayuran pun biasa diantar ke rumahku oleh Dg Mabe, pedagang sayur dari Barombong, tanpa harus dibeli.


Ada satu perihal yang amat tidak kusukai di pasar ini: bau busuk dari kandang ayam potong/broiler di samping rumahku. Sebenarnya kalau ayahku mau keberatan, pedagang ayam potong ini tak boleh menaruh kandangnya. Ketika hujan tiba, luar biasa bau yang tercium dari unggas-unggas itu. Aku harus menarik kain bajuku untuk menutup hidung bila lewat di kandang itu. Karena terbiasa juga, akhirnya aku berkompromi meski rasa busuk itu tetap menusuk hidung. Juga, ketika hujan deras tiba, kaki-kaki akan belepotan oleh lumpur yang terpercik karena sandal yang kita pakai.


Di pasar ini, mungkin seperti pasar lainnya, banyak orang berlaku sebagai makelar yang meng-kavling tempat, untuk dijual atau disewakan ke penjual yang datang dari tempat lain. Tempat yang kosong di sepanjang jalan yang dipakai berjualan, biasanya telah ada yang mencaploknya. Lebarnya tak terlalu luas, cukup duameteran untuk sebuah meja bagi penjual ikan, atau selebar dua karung beras bagi pedagang rempah-rempah. Pojok kiri depan rumahku telah dijual senilai jutaan rupiah, oleh orang yang pernah mengontrak di rumahku, dan pernah menjual di tempat ini.


Ada beberapa oknum yang mengaku paling berhak mengatur pasar ini. Setiap hari mereka berpatroli sambil membawa megaphone. Mereka tak segan meneriaki pedagang atau tukang becak yang tak disenanginya. Pernah terjadi bentrok antara mandor keamanan dengan orang yang merasa paling berhak menempati lahan yang kosong di depan rumahnya. Klaim itu tak diterima baik oleh sang mandor, penuh makian terlontar dari mulut sang mandor. Untunglah tak sempat terjadi pertumpahan darah. Banyak orang yang bilang kalau pasar ini tetap pasar liar, meski sudah dipunguti retribusi oleh pegawai honor dari Pemerintah Kota, yang katanya sebagai pungutan kebersihan pasar. Nyatanya, tempat ini masih kotor dan semerawut. Setiap hari para pedagang harus membayar seribu rupiah pada Pasussung yang berseragam pegawai dinas pemerintahan.[daengammang/Makassar Nol Kilometer]


Sunday, May 13, 2007

Pengawal Pasukan Ramang


Syamsul…Syamsul…

Syamsul yang garang …

Syamsul yang garang di Mattoanging...

Kutipan di atas adalah satu dari banyak lagu The Macz Man, klub supporter Persatuan Sepakbola Makassar (PSM). Iramanya menyerupai lagu ‘Mari Berkebun’: cangkul/cangku/cangkul yang dalam/menanam jagung di kebun kita, yang dulu tenar di kalangan kanak-kanak. Diiringi dengan tabuhan drum, tiupan terompet dan dinyanyikan serentak, lagu ini biasa mengiringi Syamsul Bachri Haeruddin, pemain tengah PSM, saat menggiring bola. Lain lagi lagunya ketika ada pemain dari tim lawan PSM, yang dulunya bermain di salah satu klub sepakbola tertua di Indonesia ini. Iramanya seperti lagu Pramuka: Buat apa Yoseph, Buat apa Yoseph, Yoseph itu tak ada gunanya. Sebelumnya Yoseph Lewono, adalah pemain kebanggaan suporter tersebut. Laiknya gemuruh, nyanyian-nyanyian suporter begitu menyemangati para pemain.

The Macz Man adalah satu dari banyak klub suporter yang ada di Makassar. Kelompok yang menghimpun tidak kurang dari 5000-an orang suporter ini, boleh dibilang lebih terorganisir jika dibanding klub suporter lain yang ada di Makassar. Setiap bulannya dipungut iuran sebesar Rp1.000 setiap anggota. Dana yang terkumpul akan dipakai untuk keperluan-keperluan kegiatan The Macz Man dan untuk membantu anggota yang mengalami musibah.

Klub ini rutin mengikuti tur bertandingnya PSM. Biasanya yang ikut sekitar 60-an orang. The Macz ini sendiri didirikan oleh Alim ‘Ocha’ Bahri bersama dua rekannya: Iriyanto Syah Kasim (Pengurus Daerah PSSI Makassar) dan Ir Amrullah Pase (Direktur PT IKI). Sementara ini Perdana Menteri The Macz Man, sebutan bagi ketua, dipegang oleh Ocha, yang juga seorang fotografer olahraga sebuah harian di Makassar.

Model pengorganisasian klub suporter ini mencontoh sistem pemerintahan sebuah negara, jelas Ocha. The Macz Man memiliki duta-duta besar yang tersebar di luar Makassar. Ada zona Jadebotabek yang mengoordinir suporter PSM yang ada di sekitar daerah tersebut. Ada pula zona Jawa Tengah, zona Jawa Timur, zona Kalimantan, dan zona Bali. Jika terjadi kerusuhan di Stadion Mattoanging, The Macz Man memiliki Barikade The Army, yang berusaha mengamankan atau mencegah terjadinya kekacauan yang disebabkan oleh suporter.

Suporter Makassar itu punya banyak karakter dalam mendukung tim kesayangannya, kata Ocha. Ada yang menyanjung-nyanjung, ada pula yang meneror pemain yang mainnya jelek. Baik itu dengan cara mengolok-olok pemain atau melempar dengan botol minuman mineral. Semuanya itu punya maksud baik: ingin PSM menang. Dan suporter tim yang kerap juga disebut Pasukan Ramang itu mau mengakui kemenangan tim lawan jika mainnya lebih bagus dari PSM. Sebaliknya, PSM disalahkan kalau mainnya buruk.

Fanatisme suporter tentu saja sangat disukai oleh para pemain. Ronald Fagundez, misalnya. Pemain asing dari Uruguay ini, merasa senang ketika bermain didukung penuh oleh suporter.

Jais Lestaluhu, pemain muda PSM asal Ambon, merasa suporter PSM sangat antusias mendukung tim yang berjuluk Juku Eja itu. Menurut Jaiz sedang latihan saja suporter sudah berjejal menyemangatinya, apalagi kalau sedang bermain di Mattoanging. Ponaryo Astaman, kapten PSM yang juga kapten tim nasional, merasa bangga pula jika dielu-elukan supporter, hanya saja perlu cara yang lebih kreatif lagi, seperti klub suporter yang ada di luar Sulawesi.

Berkonvoi keliling Makassar berkendara sepeda motor atau pete-pete sewaan, dilengkapi dengan pakaian yang serba merah, mereka menjelma jadi serigala di atas roda. Memacetkan lalu-lintas tentunya. Hal itu biasa dilakukan ketika berombongan hendak ke Mattoanging. Ada pula yang begitu heroik ketika melintas berparade. Seperti seorang panglima, yang dikawal oleh para ajudannya, Udin ‘Golgo’ begitu gagah berdiri di atas jip merah bututnya. Pria berkumis tebal ini, adalah salah satu Koordinator Ikatan Suporter Makassar dari jalan Cakalang, yang sering memakai baret dan seragam kebanggaannya ketika PSM bertanding. Iring-iringan pawai yang mengantarnya disertai sirene panjang dan gas sepeda motor yang meraung-raung. Ketika lewat di perempatan jalan, ia lancar saja melintas meski saat itu traffic light sedang berwarna merah. Sebelum mobilnya lewat, telah ada aba-aba untuk memberi jalan ‘Sang Panglima’ menuju Mattoanging.

Begitu cintanya pada tim kesayangan, ada saja yang dilakukan seorang suporter untuk mewujudkan kegemilangan PSM. Ruud J Vool, pria keturunan Makassar yang berkebangsaan Belanda, mau menyumbangkan duitnya demi mendatangkan pemain kelas dunia seperti Jari Litmanen, dari Belanda. Hanya saja rencananya batal karena pemain itu telah lebih dulu dipinang oleh kesebelasan dari Jerman. Ia juga pernah memasang spanduk dukungan ke PSM, di kandang Ajax Amsterdam.

Seperti halnya Ruud, Rappung, warga Jakarta Utara asal Makassar ini sangat setia mengikuti PSM ketika bertandang ke pulau Jawa. Hanya di Stadion Gelora 10 Nopember, kandang tim Persebaya Surabaya, ia segan. Ia takut pada Bonek (Bondo Nekat), sebutan suporter Persebaya. Bisa bahaya katanya, kalau berurusan dengan Bonek. Ia tak punya alasan lain kenapa harus susah-susah menonton PSM bermain, selain rasa cintanya pada tim Juku Eja, sampai-sampai ia biasa tertidur di kursi lobi hotel, tempat pemain PSM menginap. Pria bertubuh tambun ini juga biasa membantu mengangkat barang-barang PSM, ke stadion atau ke bandara.

Ada pula yang edan mendukung timnya, seperti Rano. Banyak orang menganggapnya kurang waras. Tapi banyak pula yang percaya kalau kelakuannya di lapangan, sebelum tim bertanding, membawa ‘berkah’ bagi PSM. Sebelum pemain masuk ke lapangan, ia berlari mengitari lapangan. Selepas itu, ia melakukan “salat” di tengah lapangan. setelah bersujud di lapangan rumput, ia tengadahkan tangannya, kemudian ia berlari lagi melanjutkan ritualnya ke tiang gawang tim lawan. Ada yang lucu: ia pernah mengencingi gawang Persija, saat bertandang ke Mattoanging. Tak ada satu pun yang menegurnya atau menahan kelakuan buruknya itu, termasuk Ilham Arief Sirajuddin, Walikota Makassar sekaligus Manajer PSM. Peter Withe, pelatih tim nasional PSSI, hanya geleng-geleng kepala melihat laku-gila Rano.

Hairul tak kalah semangatnya dengan yang lain. Pemuda yang masih berusia belasan ini mengumpulkan upahnya dari menjual ayam potong di Pasar Cidu, untuk bisa ke Senayan, menyaksikan tim kesayangannya. Dengan hanya modal baju merah, ia naik ke kapal dengan memanjat dan berebut tempat dengan suporter lainnya. Ia tak pernah memikirkan kesulitan yang akan dihadapinya nanti di Jakarta. Katanya: “Kapan lagi kita ke Jakarta, apalagi tidak dibayar ji” Ia sudah dua kali ikut ke Senayan, berharap PSM juara.

Selain memberi dukungan di lapangan, para suporter tak kalah kreatif dalam mendukung tim kebanggaannya bahkan lewat rubrik SMS yang tersedia di harian-harian yang ada di Makassar. Misalnya saja, dari nomor 085242123XXX: Wahai para suporter janganlah selalu menghina penonton yang manjat. Itulah tanda cinta kami pada PSM walaupun dipukul rotan. Dindonk DKK Cendrawasih.[Diambil dari rubrik SMS PSM Mania, harian Tribun Timur edisi Rabu, 16 Februari 2005.]

Mengiringi perjalanan sebuah tim, ada suka maupun dukanya. Sukanya: PSM juara. Dukanya: PSM kalah. Seorang Nurdin Tekilo misalnya, suporter PSM yang begitu fanatik ini punya pengalaman seru ketika mengikuti lawatan PSM di Gresik, Jawa Timur. Pada waktu itu masih putaran kedua Liga Indonesia. Ketika itu skor PSM imbang melawan Petro Kimia, 1-1. Seusai pertandingan, pendukung Petro Kimia tiba-tiba mengamuk dan mengepung pemain-pemain PSM dan para pengikutnya. Taburan batu dari para suporter rusuh itu, cukup menciutkan nyali Nurdin.

Rombongan ini pun akhirnya selamat, ketika mereka diangkut dengan panser dan dioper ke ke kendaraan lain di jalan tol. Barulah ia dan lainnya merasa betul-betul aman ketika sampai di rumah HM Alwi Hamu, seorang pengusaha dari Sulawesi Selatan. Ocha juga pernah mengalami kejadian buruk saat ikut rombongan PSM bertandang di kandang Persema, Malang. Ia menderita luka-luka, akibat dipukuli beberapa suporter Persema, saat kerusuhan supporter terjadi. Karena merasa sebagai anak Makassar, ia tak rela harga dirinya diinjak-injak, ia pun balas memukul suporter itu dengan memakai tripod kameranya. Selama dua minggu, mulut Ocha susah mencerna makanan sebab peristiwa itu.

Suatu sore di Karebosi, alun-alun di Makassar, saat tim inti PSM sedang uji coba melawan tim PSM Habibie Cup, Selasa (15/02/05). Para supporter begitu antusias menonton. Ada yang berkomentar ke orang yang ada di sampingnya, seperti gaya seorang komentator bola di televisi. Berusaha memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapi oleh PSM dengan pemain-pemain barunya.

Ada pula yang berteriak mengumpat seorang pemain yang tidak disukainya atau pemain yang gagal membuat gol. Biasanya ketika seorang pemain bermain gemilang, ia dielu-elukan dan ditepuktangani ketika ia berdiri dekat dari suporter. Para suporter terus melambaikan tangan sampai pemain itu menoleh dan membalasnya dengan senyum. Para suporter berjejalan menonton. Ada yang berdiri di atas motornya yang diparkir di dekat lapangan, ada pula yang bertumpuk menempel di pagar pembatas lapangan.

Keramaian ini membawa berkah bagi para pedagang kaki lima di sekitarnya. Termasuk tukang parkir yang memungut limaratus sampai seribu rupiah dari setiap motor atau mobil yang diparkir di wilayah kekuasaannya. Ketika itu pertandingan usai dengan skor 7-1, untuk kemenangan tim inti. Setelah para pemain kembali ke bis rombongan, Miroslav Janu masih di lapangan. Ia singgah berbincang dengan beberapa pengurus PSM. Sementara ia serius bercerita, tiga anak kecil menyela dan menyodorkan kertas untuk ditandatangani. Seorang wartawan lalu berkomentar: Pelatih bule ini beda dengan pelatih bule PSM sebelumnya, seperti Henk Wullems contohnya. Selain suporter dewasa, Miro juga akrab dengan suporter cilik. Kini Miro telah hengkang dari PSM karena alasan gaji yang tak cocok. Ia pun digantikan M Basri, pelatih dari Makassar. [daeng ammang; dari buku'Makassar Nol Kilometer']