Tuesday, May 8, 2007

setiap orang punya ekspresinya sendiri


wajah-wajah ini tidaklah jauh dari kita. bisa jadi mereka adik atau anak lelaki kita. banyak yang bilang gaya urakannya cenderung tak berpengharapan. dengan serba-serbi penampilan mereka, mereka menyebut cara mereka adalah sebuah sikap perlawanan pada kemapanan, sebuah gerakan yang umum disebut Punk. mereka juga kadang disebut organisasi sub-kultur. tampang sangar dan aksi nekat, membuat beberapa pihak bersikap aware pada mereka. sudah banyak cap yang melekat di jidat-jidat mereka. tapi mereka tak ambil pusing. memilih menjadi Punker adalah pengorbanan, keluar dari zona nyaman. siapa yang tahu dari mereka banyak yang kreatif. di Bandung, banyak Punker yang bikin kaos oblong dengan omzet yang bisa membiayai organisasinya. souvenir-souvenirnya pun beragam hingga menjadi tren. fenomena suburnya bisnis fashion distro (distribution outlet) tak lepas dari Punker-punker ini. cara jual dengan prinsip do it yourself adalah bentuk perlawanan mereka dengan sistem kapitalistik. bikin dan jual pakai cara sendiri. bermusik pun mereka tetap kreatif dan melawan. melawan semua "kejahatan" yang merongrong bangsa ini. terkadang kita salah paham pada mereka yang sebenarnya baik.

Pantai Losari


Kau tahu kenapa mereka berduyun-duyun kembali ke Makassar?
mungkin satu alasan di antaranya adalah Pantai Losari,...

tentang kegemaranku: fotografi

[fotonya arbain rambey dirusak di PS CS]
fotografi adalah seni. seni melihat. seni membekukan atau membingkai kenangan. seni tentu punya guna buat kehidupan, lalu apa efeknya fotografi? kata sebuah majalah keluarga, foto yang menampilkan kemesraan atau buah kasih seperti anak, akan melanggengkan hubungan dan jauh dari fenomena artis di infotainment. invasi AS di Vietnam pun reda setelah dua foto yang masyhur dirilis di media-media cetak di AS, foto Napalm death dan eksekusi Vietkong. tulisan pun terkadang hambar tanpa ada foto sebagai penjelas.

saat ini berbagai penjuru kehidupan manusia, bahkan ranah pribadi pun terintai dari sikap tidak awas memakai perangkat digital seperti Handphone berkamera. belum lagi dari keisengan menelanjangi lewat Photoshop. digitalisasi fotografi seperti dua sisi koin: satu baik dan satu buruk. efektif dan efisien seperti kata orang ekonomi, atau bisa bikin orang melongo atau jengkel dengan hasilnya. atau bisa bikin laris infotainment, seperti beberapa waktu yang lalu.
bagi saya, fotografi adalah cara saya mengekspresikan sesuatu dari dalam diri saya. seperti cara orang lain yang mungkin saling berlainan caranya. saat masih di kampus lalu, banyak dari temanku yang setuju dengan Opspek yang kental dengan kekerasan atau dehumanisasi. saya tidak setuju dengan cara mereka menyambut "adiknya". tak banyak yang sepikiran dengan saya. banyaklah alasan mereka. ingin dihargailah, ingin semena-mena yang kapan lagi kalau bukan saat Opspek, atau menjadi pahlawan di saat genting bagi junior-junior. saat berpameran, kupajanglah foto kepala yang merapat di darat dan sejajar dengan sepatu, judulnya: 'derajat kepala di Unhas'. tak begitu besar pengaruhnya, sebab di tahun berikutnya, masih tetap terjadi dan bahkan semakin menggemaskan. menghujat IPDN sementara tak melihat di pelupuk matanya.

seorang kawan pernah bertanya: kapan hobi fotografi itu muncul? lalu kujawab, saat saya mulai menyukai keindahan dan tak mau melepasnya pergi. indah gunung yang nampak terpatri lewat selembar foto bisa kita-kenang atau kita-cerita. begitu pula indahnya mahluk-mahluk-Nya yang lain, wanitalah misalnya. yang pasti mempunyai hobi fotografi tak ada ruginya, walau pernah ditegur oleh bapakku: "lembar demi lembar foto yang kau tumpuk itu dari uang semua, lalu apa gunanya?" uang jajanku rela kutukar dengan rol-rol film-negatif dan mencetaknya. memperlihatkan hasil yang sebenarnya tak terlalu bagus pun bisa bikin bangga. bukan besar kepala, tapi senang saja. bukan begitu???