Thursday, January 31, 2008

Sang Penganggur


“Pengangguran itu merah Jenderal. Semerah amarah,..”

Tahun 2007 baru sebulan berlalu. Tepat 11 bulan setelah aku menamatkan pendidikan yang selalu menjadi harapan orang tuaku agar kelak bisa menjadi “orang”. Aku tahu mereka sangat berharap bisa kubuat bangga. Paling tidak, ketika bertemu keluarga lainnya. Atau, tidak kubuatkan mereka masalah yang bisa mencemarkannya. Ketika kuputuskan untuk menjadi seorang sarjana. Sebenarnya tak terlalu penting untuk kukabarkan pada mereka. Meskipun jarak sekolah terakhirku tak kurang 11 kilometer dari rumah. Ada suara yang berbisik, kebahagiaan mereka tak terperi kiranya mereka akhirnya tahu. Apa guna buat mereka pikirku? Suara bisikan itu menimpali: susah untuk dijelaskan bung, pokoknya mereka harus tahu. Begitulah seterusnya, sampai akhirnya aku mengajak mereka ikut ritual yang tak kupahami jelas artinya.

Sarjana. Sudah 11 bulan ia kusandang. Apa gerangan maksud gelar itu? Apakah ia seperti sebuah kasta sosial? Seandainya arti Sarjana itu bagus, apakah itu ada manfaatnya buat diriku atau buat yang lain? Ia, walau tak gampang kudapat, sebenarnya akhirnya kudapat karena ingin menggugurkan kewajiban dari orang tua akhirnya. Sebab kampus tempat aku membayar sejumlah rupiah tak berguna seperti harapanku. Ia sekadar memasilitasi pergaulanku saja. I didn’t get what I paid. Kalau mau dihitung-hitung dagang artinya rugi. Untunglah ada sejumlah manusia yang baik hati dan bisa diajak bersekutu. Aku memilih belajar Ilmu Politik, tapi tak kudapat sepenuhnya apa yang aku mau. Hanya sejumlah omong kosong belaka. Jadi tak pantas kiranya gelar itu menyertai namaku.

Ketika bersekolah S1, banyak kawan yang meramalkan keterampilanku bisa mengantarku ke jurang kesuksesan. Betulkah? Aku belum bisa menjawabnya, sebab hingga kini sebuah predikat masih membungkusku. Ia selalu menghinaku lewat derai air hujan, atau angin malam yang menusuk tulang. Perkataan atau tatapan dari orang lain sepertinya terasa memedihkan. Kenapa aku selalu merasa terkurung darinya? Atau semua ini hanya suara pembisik saja yang tak jelas di mana sumbernya.

begitulah keadaanku sekarang ini. Aku tak lebih seperti seorang pensiunan yang lupa bagaimana cara membunuh rasa sepi dalam dirinya. Setiap hari adalah hari libur yang penuh lembur, lebur bersama penganggur lainnya. Jadi sebenarnya, terlalu mulia jika pangkat Sarjana melekat pada diri ini. Diri ini hanya seorang anak Pasar Cidu yang mencoba meraih bintang di ufuk sana.

Tak lama berselang saat kutulis ini, terdengar samar dari televisi tetangga:

“ Bukankah hidup ada penghentian
tak harus kencang terus berlari
ku helakan nafas panjang
tuk siap berlari kembali…
berlari kembali..
melangkahkan kaki
menuju cahaya,….”

(Sang Penghibur, Padi)

31 Januari 2008, 23: 13, Tamalanrea