Thursday, May 31, 2007

Kemewahan dan Kemelaratan Kotaku

Mall-mall di Makassar tidak kalah lagi dengan Mall yang banyak di Jakarta


Mereka selalu dihinakan; Dekat di Mata, Jauh di Hati,...

Bagi warga Makassar yang sering melintas di samping Mesjid Raya, mungkin sering memperhatikan spanduk kampanye "Stop Memberi Uang di Jalan". Spanduk itu bagian dari program pemerintah kota Makassar, usaha mengusir kefakiran yang menjangkiti warganya. Apakah dengan selembar spanduk itu sudah bisa memberi jawaban atas perkara yang paling purba: kemelaratan, sama purbanya perihal cinta. Tak ada yang tahu.
Seorang kawan berkunjung dari kota seberang. Ia sedikit takjub dengan "kemewahan" yang ia lihat, di mana-mana ada mall, sepanjang jalan penuh ruko-ruko (rumah toko), mesjidnya megah-megah, jejalan dijejali bejubel kendaraan. Kotaku sudah tumbuh, pikirku. Sayang, sekali ia tak sempat melihat kekumuhan yang masih lebih-banyak dari kemilau yang sempat menyilaukan matanya.

Pengemis seperti di foto ini bisa dijumpai di tiap-tiap perempatan lampu-merah,
foto diambil dijalan G. Latimojong, depan Harapan Baru Dept. Store


"Dekat di Mata, Jauh di Hati" slogan baju kaos aktivis LSM anti-kemiskinan. Mungkin betul, mereka (orang yang selama ini sering disebut-sebut dilindungi undang-undang) tidaklah terperhatikan selayaknya ia manusia. Di layar gelas sering kita lihat penggusuran di mana saja, bahkan berujung hilangnya nyawa dari orang-orang yang tak berdosa. Di Makassar saja, orang-orang tak berdaya itu selalu menjadi bintang reality show yang harus dipentung Satpol Pamong Praja. Mereka selalu jadi korban dan selalu dihinakan. Hari ini saja, di jalan Harimau, mereka dinistakan lagi. Peristiwa Pasuruan mengingatkan kita jejak penuh noda darah, laku-sadisme atau dehumanisasi oleh mereka yang berseragam loreng. Tanjung Priok, Lampung, Semanggi, Papua, Timor-Timur, Aceh dan tempat-tempat lainnya pernah dan masih bersimbah darah. Ya, siapa lagi malingnya kalau bukan TNI. Tapi tak usah pusingkan semua itu,... Di kotaku masih terlalu banyak yang perlu dipusingkan. Ya, antara-lain kemiskinan yang masih selalu dihujat tapi tak bisa dienyahkan. Si Bijak berpetuah: "Jangan terus-terus mengutuk gelap. Mari nyalakan lilin."

Mesjid Raya Makassar, salah satu masjid raya yang beraksitektur menawan di Asia

Agama yang saya anut mengajarkan: "Kefakiran sungguh dekat dengan kekafiran". Dan, pemeluknya luar-biasa banyaknya di negeri ini. Tapi apa yang berubah. Si Kaya makin subur, si Miskin makin ceking! Lalu kemana semua hasil zakat, infaq, sedekah dan amal jariyah yang dititahkan. Atau, mungkin tetek-bengeknya masih bermasalah. Tapi, ya sudahlah, biarlah Tuhan yang balas. Menyerah adalah selemah-lemah iman, yang penting tidak apatis.
Kalau di Undang-undang, orang-orang terlantar dipelihara oleh negara, walaupun itu sejatinya tidak demikian. Anak-anak muda yang terlantar macam kami (penganggur tapi tak suka tidur malas-malasan) ya dipelihara dan dilindungi oleh teman. Mudah-mudahan budaya traktir-menraktir tidak cepat punah. Berikut di atas foto-foto saya, saya haturkan untuk bisa ikut prihatin bersama yang lainnya. Semoga!
[daengammang/00:11, 2 Mei 2007, Tamalanrea]

Sunday, May 27, 2007

Bohemian Tua


ia pria tua yang menggelandang dari rumah ke rumah
tampangnya tidak urakan betul
topi dan motif pakaiannya pun masih punya arti
apalagi sebilah rotan yang ia panggul bersama sebuah buntelan
ia bohemian tua yang datang sepintas lalu pergi melintas
dari rumah ke rumah, untuk hidupnya yang pantas

Siluet Phinisi


Lokasi : Pelabuhan Tradisional Paotere - Makassar
Data Foto : Nikon FM 10 + lensa kit normal, Kodak ProImage ISO: 100, F8, Time: ?