Saturday, September 6, 2008

Musim Ramadhan Tahun Ini

[judul foto ini: Fajar Ramadhan]

Puasa. Menahan lapar, menahan hawa nafsu, juga amarah. Harus berlaku baik seperti apa yang dikatakan ustadz di mimbar masjid.

Kata Ustadz selalu di tiap Ramadhan, mengutip Al Quran, puasa adalah untuk membuat pelakunya menjadi semakin bertakwa pada Tuhannya, sebagaimana yang pernah dilakukan umat sebelumnya. Baygaimana jika puasa hanya sebagai label penanda bahwa orang itu di mata orang lain adalah bagian dari umat yang berkualitas. Bila mana di negeri ini, kualitas manusia selalu diukur dari apa yang terlihat saja. Contohnya, kalau mau dibilang orang yang taat beribadah dan bisa dipercaya menjadi walikota adalah dengan menggunakan kostum ala timur tengah dan gambarnya mejeng di tiap sudut jalan. Atau, kalau misalkan orang itu artis atau tukang hibur tinggal menjual ayat-ayat Tuhan.

Ramadhan sebenarnya bukan sekadar musim berpuasa. Tapi juga musim yang baik, yang datang sekali setahun, bagi para penjual atau pembual. Penjual cendol, bakso atau warung makan pasti laris manis selalu di tiap Ramadhan. Demikian pula untuk pembual. Di bulan Ramadhan, banyak orang yang menyimpan rasa curiganya di balik kantong baju koko. Oleh itu si pembual lihai bermuslihat bertopeng kesalehan.

Tuhan, kalau betul Ramadhan itu bulan berkahMu, maka berkahilah aku dan semua umatMu untuk tidak seperti 'Abu Nawaz(*)' pada manusia-manusia yang lain. Teguhkanlah pendirianku! Jauhkan aku dari sifat peragu pada manusia lainnya. Dekatkan aku padaMu!!!

Thursday, February 21, 2008

Eksplorasi Usia Senja

nenek tua dan buta di Bajawa, Flores

Daeng Ajji, pikun menghitung uang kembaliannya

Emma' Hati', tetap bahagia di usia senjanya

Menunggu keluarga berbelanja di FO Heritage, Bandung

Nenek tua penjual jagung bakar di jalan AP Pettarani, sebentar ia tergusur proyek Flyover.
Jamaah An-Nazir dari Toli-toli, sesaat usai shalat idul fitri di Mawang, Gowa.
Raja Kunci dari Tamalanrea


Penyair Chairil Anwar lewat puisinya yang masyhur, Derai Derai Cemara berujar, "Hidup hanya menunda kekalahan..." Tapi di puisi lainnya ia berteriak, "Aku mau hidup seribu tahun lagi.". Dari dua penggalan puisi ini paling tidak, saya yang awam dalam hal kesusastraan, menyimpulkan bahwa akar masalah Chairil adalah persoalan waktu. Dan, berangkat dari rasa penasaran mengekplorasi waktu inilah, saya mengabadikan ekspresi wajah-wajah tua, manusia-manusia yang telah berenang jauh menyusuri waktu.

Biarlah persoalan kata dan makna waktu dibahas oleh penafsir atau sastrawan saja, diri saya ini hanyalah seorang yang gemar mengabadikan gambar. Teman-teman saya menggelari saya sebagai fotografer. Lewat foto-foto ini saya mau berbagi, atau menawarkan sebuah "cermin" yang tidak terbuat dari kaca.

Menjadi tua. Ada yang ingin menjalaninya dengan bahagia dan pikiran positif, tapi tidak sedikit yang ingin mengingkarinya. Perlahan-lahan pandangan merabun, kulit merapuh, rerambut gugur helai demi helai, geligi tanggal satu-satu. Bagi yang tidak rela menjadi tua, jelas akan menjadi sasaran empuk kalangan bisnis. Bermunculanlah satu demi satu merek yang menawarkan anti tua. Obat awet muda marak di mana-mana. Keriput kulit bisa dimuluskan, rambut uban cukup disemir, agar tidak menjadi si bongkok harus minum susu berkalsium tinggi, begitu seterusnya. Peperangan melawan usia adalah salah satu iklan yang membanjir di tengah kita!

Menjadi tua dalam fotografi sebenarnya tidak harus tampil hitam putih atau sephia. Di era digitalisasi fotografi, hitam putih atau sephia hanya kesepakatan biasa saja untuk menggolongkan sesuatu yang menjadi tua. Dalam karya-foto saya ini semua manusia yang ada memang dalam potret hitam putih. Kata Oscar Motulloh, pesohor fotojurnalis Indonesia, foto hitam putih itu karakternya kuat. Tapi, bukan berarti supaya karakternya kuat, foto ini mengeliminasi kejompoan mereka.

Menjadi tua memang selalu menimbulkan masalah atau kekhawatiran berlebih yang mungkin pada siapa saja yang muda. Seringkali hati seorang kakek atau nenek menjadi lara, ketika anak atau cucunya lebih memilih mengarantina dirinya di panti jompo. Walau pun hal itu sekadar perbedaan persepsi "kasih" antara si kakek atau nenek dengan cucu atau anaknya. Seorang kakek di pelabuhan Paotere misalnya merasa diperdaya, dan dengan bingung ia menghitung uang yang diterimanya oleh orang-orang muda di sekitarnya. Tidak sedikit juga lansia yang mengisi hari-hari mereka dengan termenung-murung. Atau karena luasnya anggapan bahwa orang jompo patut disantuni, membuat beberapa nenek memilih menjalankan hari tua dengan mengemis di Jalan Gunung Latimojong Makassar. Wajah tua memelas, mengundang belas kasihan, bukan?

Tapi tidak semua orang yang menjadi tua menganggap usia senja adalah hambatan atau kehampaan. Seorang jamaah An Nazir yang saya potret usai berlebaran tahun lalu, jauh-jauh datang dari Toli-toli, Sulawesi Tengah. Ribuan kilometer ditempuhnya menuju Gowa, Sulawesi Selatan, pusat ajaran agama ini. Saya juga bertemu nenek yang sudah buta, tapi masih bersemangat menjual kain tenunan di pedalaman Bajawa, Flores. Ada pula yang menjual jagung di Jalan AP Pettarani yang sebentar lagi tergusur flyover. Dan, ada lansia yang tetap semangat berusaha, menjalankan gerai “Raja Kunci” di Tamalanrea.

Usia biologis manusia sudah pasti akan terus bertambah dan terus bertambah. Tapi semangat, kegigihan, perlawanan atau pun kepasrahan terhadap usia, selalu berbeda bagi setiap orang. Bagaimana memaknai usia, waktu, dan hari tua, jelas adalah pilihan!

(dimuat di www.panyingkul.com)

Saturday, February 16, 2008

Mereka Turun ke Jalan

Mereka yang hidup dengan lepra. Mereka kadang dijauhi oleh masyarakatnya. Mereka dianggap bagian yang terkutuk. Padahal penyakit ini disebabkan oleh bakteri mycobacteriteriumleprae, bakteri yang menyerang saraf sensorik dan motorik pada penderitanya. Tak ada lagi rasa panas, dingin, atau sakit di bagian tubuh yang terjangkiti. Setelah terjangkiti, perlahan demi perlahan bagian tubuhnya hilang dimakan bakteri. Seperti kaki atau tangannya. Mereka terkadang menganggap dirinya tak diterima lagi oleh lingkungannya, pula keluarganya, hingga tak ada yang bisa mereka lakukan lagi selain turun ke jalan untuk melanjutkan sisa hidup mereka. Keterampilan tak mereka punyai. Mereka hanya punya sisa tangan yang tengadah pada pengendara. Mereka tak takut Satpol Pamong Praja yang senantiasa menghardik.
Dalam hidup ini memang ada banyak pilihan. Tapi terkadang hanya beberapa orang saja yang diberi kesempatan. Life Must Go On!



Mengharap belas kasih dari yang berlebih

Menyeret Roda Hidup

Thursday, January 31, 2008

Sang Penganggur


“Pengangguran itu merah Jenderal. Semerah amarah,..”

Tahun 2007 baru sebulan berlalu. Tepat 11 bulan setelah aku menamatkan pendidikan yang selalu menjadi harapan orang tuaku agar kelak bisa menjadi “orang”. Aku tahu mereka sangat berharap bisa kubuat bangga. Paling tidak, ketika bertemu keluarga lainnya. Atau, tidak kubuatkan mereka masalah yang bisa mencemarkannya. Ketika kuputuskan untuk menjadi seorang sarjana. Sebenarnya tak terlalu penting untuk kukabarkan pada mereka. Meskipun jarak sekolah terakhirku tak kurang 11 kilometer dari rumah. Ada suara yang berbisik, kebahagiaan mereka tak terperi kiranya mereka akhirnya tahu. Apa guna buat mereka pikirku? Suara bisikan itu menimpali: susah untuk dijelaskan bung, pokoknya mereka harus tahu. Begitulah seterusnya, sampai akhirnya aku mengajak mereka ikut ritual yang tak kupahami jelas artinya.

Sarjana. Sudah 11 bulan ia kusandang. Apa gerangan maksud gelar itu? Apakah ia seperti sebuah kasta sosial? Seandainya arti Sarjana itu bagus, apakah itu ada manfaatnya buat diriku atau buat yang lain? Ia, walau tak gampang kudapat, sebenarnya akhirnya kudapat karena ingin menggugurkan kewajiban dari orang tua akhirnya. Sebab kampus tempat aku membayar sejumlah rupiah tak berguna seperti harapanku. Ia sekadar memasilitasi pergaulanku saja. I didn’t get what I paid. Kalau mau dihitung-hitung dagang artinya rugi. Untunglah ada sejumlah manusia yang baik hati dan bisa diajak bersekutu. Aku memilih belajar Ilmu Politik, tapi tak kudapat sepenuhnya apa yang aku mau. Hanya sejumlah omong kosong belaka. Jadi tak pantas kiranya gelar itu menyertai namaku.

Ketika bersekolah S1, banyak kawan yang meramalkan keterampilanku bisa mengantarku ke jurang kesuksesan. Betulkah? Aku belum bisa menjawabnya, sebab hingga kini sebuah predikat masih membungkusku. Ia selalu menghinaku lewat derai air hujan, atau angin malam yang menusuk tulang. Perkataan atau tatapan dari orang lain sepertinya terasa memedihkan. Kenapa aku selalu merasa terkurung darinya? Atau semua ini hanya suara pembisik saja yang tak jelas di mana sumbernya.

begitulah keadaanku sekarang ini. Aku tak lebih seperti seorang pensiunan yang lupa bagaimana cara membunuh rasa sepi dalam dirinya. Setiap hari adalah hari libur yang penuh lembur, lebur bersama penganggur lainnya. Jadi sebenarnya, terlalu mulia jika pangkat Sarjana melekat pada diri ini. Diri ini hanya seorang anak Pasar Cidu yang mencoba meraih bintang di ufuk sana.

Tak lama berselang saat kutulis ini, terdengar samar dari televisi tetangga:

“ Bukankah hidup ada penghentian
tak harus kencang terus berlari
ku helakan nafas panjang
tuk siap berlari kembali…
berlari kembali..
melangkahkan kaki
menuju cahaya,….”

(Sang Penghibur, Padi)

31 Januari 2008, 23: 13, Tamalanrea